Friday, 8 September 2017

FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab , yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis, ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Dewasa ini, kita dapat melihat akan adanya dominasi ”cara berpikir” yang dilakukan oleh para pemikir barat. Penguasaan tersebut telah menguasai hampir seluruh dunia; karena barat telah berhasil mengembangkan teknologi, kebudayaan sekaligus peradabannya. Bagi negara berkembang ketergantungan akan dominasi barat sangat kentara sekali, apalagi dilihat dari kacamata filsafat, barat berhasil dalam mengembangkan dan menanamkan ”cara berpikirnya”. Sebetulnya pemeikiran-pemikiran barat pada hakikatnya berupa tradisi pemikiran yang diambil dan dilahirkan dizaman Yunani kuno. Dengan kata lain, bahwa filsafat Yunani Kuno dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat (pemikiran) Barat. Para ahli pada zaman itu, mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari pemikiranya bersifat mitologik (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat ke arah kemegahannya. Sejak abad 5 SM, pemikiran filsafat beralih kearah manusia dengan kemampuan berpikirnya, masa ini dikenal dengan masa antropologis. Masa ini dokenal sederet ahli pemikir seperti Sokrates, Plato, Aristoteles. Pada Akhirnya filsafat membentuk ruang lingkup yang semakin luas serta dengan beraneka ragam permasalahan. Pemikiran filsafati pada masa itu diartikan sebagai bermacam-macam ilmu pengetahuan.

B.        Rumusan Masalah
1.         Bagaimanakah pengertian dan ciri filsafat ilmu pengetahuan?
2.         Bagaimanakah metodologi filsafat ilmu pengetahuan?
3.         Bagaimanakah bentuk pengklasifikasian dan pandangan seputar ilmu pengetahuan?

C.        Tujuan
1.         Untuk mendeskripsikan pengertian dan ciri filsafat ilmu pengetahuan.
2.         Untuk mendeskripsikan metodologi filsafat ilmu pengetahuan.
3.         Untuk mendeskripsikan bentuk pengklasifikasian dan pandangan seputar ilmu pengetahuan.





BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengetahuan dan Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki, yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Inilah yang disebut potensi untuk menindaki.
Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Dari berbagai macam sumber, pengetahuan juga memiliki makna:
1.         Pengetahuan merupakan kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung memperkaya kehidupan kita, kehidupan manusia tidak luput dari pengetahuan, karena pengetahuan merupakan sumber jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul disekitar  kita. (Jujun S. Suriasumantri, 1990)
2.         Pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan alam sekitarnya. (Mahammad Adlany, 2009)
3.         Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan persentuan kita dengan suatu perkara. (Mahammad Adlany, 2009)
Dari berbagai definisi tentang pengetahuan Jujun S. Suriasumantri mengemukakan bahwa kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris itulah yang disebut dengan ilmu. (Jujun S. Suriasumantri, 1990).
Ciri–ciri pengetahuan yang bersifat ilmiah :
a)         Mempunyai derajat kepastian yang tinggi, dimanah pijakan berpikirnya dilandasi pengetahuan yang luas.
b)         Mempunyai alur berpikir yang sistematis dan sistemik
c)         Memiliki kadar kebenaran yang luas dan disepakati bersama, sehingga pengetahuan ilmiah mempunyai metode ilmiah yang sama. (Wahidin, 2009).
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. (Jujun S. Suriasumantri,1990). Ketiga landasan ini saling berkaitan. Jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dst. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia dan digunakan untuk menawarkan kemudahan. Pengetahuan ilmiah merupakan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Dengan ilmu manusia memanipulasi dan menguasai alam. Dengan mempelajari alam manusia dapat mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan berkembang melalui pengalaman dan  rasionalisme yang didukung oleh metode mencoba-coba/trial-and error .(Jujun S. Suriasumantri, Hal : 105-106).
Ilmu atau ilmu pengetahuan juga memiliki definisi sebagai seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
B.        Pengetahuah Sehari-hari dan Pengetahuan Ilmiah
Perbedaan antara pengetahuan sehari-hari (commonsence) dengan pengetahuan ilmiah (science). Perbedaan antara keduanya disajikan dalam tabel berikut.
Tabel Perbedaan Pengetahuan Sehari-hari dan Pengetahuan Ilmiah
No .     Faktor Pembeda          Pengetahaun
Sehari-hari       Pengetahuan ilmiah
1          Tujuan Berguna untuk kehidupan sehari-hari Menemukan kebenaran, memperluas pemahaman/pengetahauan, deskripsi, eksplanasi, interpretasi, prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, kontrol
2          Metode            Tanpa metode Kualitatif dan kuantitatif
3          Bahasa Ambigu/kabur Lugas/tepat, verifikasi/falsifikasi

Pengetahuan sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Karena itu, disebut juga dengan pengetahaun eksistensial. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya banyak ditemukan cara pengobatan yang termasuk pengetahuan eksistensial dan diwariskan secara turun-temurun. Umpamanya daun-daunan, akar-akaran, umbi-umbian yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit. Contoh yang jelas dan sederhana adalah berbagai jenis jamu yang digunakan (oleh masyarakat tradisional) tanpa pembuktian laboratorium (pembuktian ilmiah), sehingga tidak dapat diketahui dan dijelaskan oleh mereka mengapa akar-akaran atau daun-daun itu bisa mengobati suatu penyakit. Akan tetapi sebagai masyarakat awam percaya begitu saja jamu itu sanggup mengobati penyakit, tanpa dapat menjelaskan alasannya (Suriasumantri, 2001).
Jika jenis jamu itu dapat dianalisis/diteliti melalui laboratorium oleh seorang ahli tentang kandungan zat-zat kimia yang dikandungnya, kemudian diketahui bahwa zat itu memang ampuh untuk mengobati (mematikan) penyakit atau bakteri tertentu, maka kita mendapatkan penjelasan mengapa, jamu itu dapat menyembuhkan penyakit tertentu. Berarti, pengetahuan sehari-hari itu sudah ditingkatkan menjadi pengetahuan ilmiah. Apabila pembuktian ilmiah dilakukan berkali-kali (diverivikasi) dan hasilnya serupa dengan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat diberikan penjelasan (kausalitas) mengapa jamu dapat mengobati/membunuh bakteri tertentu. Pemaparan secara jelas, sistematis dengan pernyataan yang dapat dibuktikan (dijustifikasi) berdasarkan pengalaman/eksperimen, maka pengetahuan biasa sudah meningkat menjadi pengetahuan ilmiah.
Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari, tujuan ilmu pengetahuan/pengetahuan ilmiah adalah (1) untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Menjawab pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah. Penjelasan (Erklaeren atau eksplanasi) adalah pemaparan yang bersifat kausalitas, misalnya air jika dipanaskan pada temperatur 100°C, maka akan mendidih. Penjelasan kausalitas merupakan tujuan ilmu pengetahuan yang penting (terutama pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang menggunakan metode ilmu pengetahuan alam). Ilmu pengetahuan yang menjelaskan atau berupaya mencari hukum-hukum alam yang disebut nomotetis. Pada psikologi behaviorisme, “stimulus-respons” merupakan penjelasan kausalitas terkait tingkah laku manusia.
Di samping untuk menjelaskan fenomena alam, tujuan lainnya dari ilmu pengetahuan, yaitu (2) deskripsi/pemaparan, (3) retrodiksi, (4) prediksi, dan (5) kontrol (Sudarminta, 2002). Berbeda dengan penjelasan, deskripsi adalah upaya untuk menjawab pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, di mana dan berapa. Intinya, deskripsi merupakan bentuk pemaparan atau laporan ihwal suatu peristiwa atau fenomena alam dan sosial budaya. Sewaktu tukang jamu memaparkan bagaimana ia meracik jamu dari tumbuh-tumbuhan tanpa menjelaskan alasan mengapa bahan racikan itu dipilih dan mengapa bahan itu dapat mengobati satu penyakit, maka model wacana yang dihasilkan adalah deskripsi.
Beberapa dari deskripsi, retrodiksi adalah model pemaparan rekonstruktif tentang masa lalu, yang didasarkan atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Contohnya, para arkeolog dan sejarawan dapat memperkirakan bagaimana kebudayaan Mesir 3000 tahun yang lalu berdasarkan artefak yang mereka temukan akhir-akhir ini. Atau para biolog merekonstruksi bagaimana kehidupan binatang purba (dinosaurus) berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Charles Darwis umpamanya mengemukakan teori evolusi dengan mengumpulkan berbagai peninggalan fosil yang sebelumnya dianggap tidak berarti sama sekali. Darwin menggunakan fosil-fosil itu sebagai dasar untuk mengkonstruksi teori evolusinya yang kontroversi itu dan ternyata sangat memengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Jika retrodiksi adalah model pemaparan yang berorientasi ke masa lalu, maka prediksi adalah model pemaparan yang bertujuan atau berorientasi ke masa depan. Jika jumlah penduduk Jakarta sekarang 12 juta (X), dan pertambahan penduduk per tahun 2 persen (Y), maka jumlah penduduk Jakarta sepuluh tahun yang akan datang akan berjumlah sekian (Z). Ini adalah contoh tujuan ilmu pengetahuan yang berbentuk prediksi.
Kontrol adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk merekayasa peristiwa atau fenomena alam dengan menggunakan data-data atau pertimbangan ilmiah. Misalnya untuk menghindari pertambahan jumlah penduduk Jakarta, pemerintah DKI Jakarta dapat mengontrolnya dengan memperketat pelaksanaan KB.
Di samping perbedaan tujuan dan metode, ada perbedaan antara pengetahuan sehari-hari dengan ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) yakni dalam sarana bahasa yang dipakai. Pengetahuan sehari-hari, sementara ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah memakai bahasa ilmiah. Jika bahasa sehari-hari tanpa mempertimbangkan ketepatan sehingga bisa bermakna ganda atau tidak jelas, maka bahasa ilmiah digunakan dengan lugas dan jelas (ketat). Oleh karena itu, dalam bahasa ilmiah, konsep-konsep penting misalnya dirumuskan dalam bentuk definisi, sehingga ada kesepakatan tentang pengertian konsep/teori yang digunakan.
Briand fay mengemukakan tiga model mengetahui antara lain: (1) mengetahui berarti “mampu mengidentifikasi”. Misalnya pada pernyataan: “saya tahu jamu dapat mengobati penyakit”. Contoh lain, “saya tahu mereka politisi busuk”. Selanjutnya mengetahui bisa berarti (2) “memiliki pengalaman yang sama”. Misalnya “saya tahu bagaimana sakitnya dituduh politisi busuk”. Pengertian “mengetahui” yang lain bisa berarti “sanggup menguraikan dan menerangkan”. Misalnya “saya tahu mengapa mereka disebut politisi busuk”. Ilmu pengetahuan tidak cuma sekadar mengetahui dalam pengertian yang pertama, akan tetapi lebih pada cara mengetahui model ketiga, yaitu pada taraf menguraikan dan menjelaskan (Fay, 2002:9).











Gambar Tiga Model Mengetahui (Know)
            Hampir sama dengan Bryan Fay, Sony Keraf dan Mikhael Dua membedakan antara: pengetahuan (1) “tahu bahwa”, (2) “tahu bagaimana”, (3) tahu akan/mengenai” dan (4) “tahu mengapa”.
“pengetahuan tahu bahwa” adalah jenis pengetahuan informatif-teoritis, seperti “mampu mengidentifikasi” sesuatu. Misalnya, seseorang tahu bahwa jika logam dipanaskan akan memuai. Jenis kedua, “pengetahuan tentang bagaimana” misalnya tahu mengoperasikan komputer dan lain-lain. Jenis pengetahuan ini disebut sebagai pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis biasanya juga didasari oleh pengetahuan teoritis. Selanjutnya, “tahu akan/mengenai” adalah pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pengenalan pribadi berkaitan dengan objek tertentu (singular). Tingkat objektivitas pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman sendiri biasanya lebih tinggi dan lebih akurat. Seorang ahli mesin contohnya akan lebih tepat mengenal bagian yang rusak dari mesin mobilnya daripada orang lain. Adapun, “jenis pengetahuan tahu mengapa” adalah jenis pengetahuan yang lebih dalam daripada “tahu bahwa”, lantaran pengetahuan ini tidak berhenti pada informasi, akan tetapi lebih jauh mengetahui mengapa sesuatu terjadi. Misalnya: mengapa benda yang dimasukkan ke dalam air berkurang beratnya, dan juga mengetahui mengapa gravitasi dapat memengaruhi air laut menjadi pasang-surut, dan lain-lain. Jenis pengetahuan ini sama dengan model ketiga pada Brian Fay di atas (lihat dan Dua, 2001: 34:-39).


PENGETAHUAN



Gambar Pengetahuan
C.        Ciri Ilmu Pengetahuan/Pengetahuan Ilmiah
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri tertentu serta cara (metode) bagaimana memperoleh dan membuktikan kebenarannya. Beerling (1986) mengemukakan beberapa ciri ilmu pengetahauan: pertama, anggapan bahwa pengetahuan berlaku umum; kedua, ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan mandiri (otonom) dalam mengembangkan norma-norma ilmiah; ketiga, pengetahuan ilmiah mempunyai dasar pembenaran (misalnya: verifikasi, dan falsifikasi); keempat, pengetahuan ilmiah bersifat sistematik; dan kelima, pengetahuan ilmiah bersifat objektif (intersubjektif) (Beerling, 1986: 4-6).
Sedangkan Van Meslen mengemukakan ciri-ciri pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) sebagai berikut:
1)         Metodis (memiliki metode (logis daan koheren) sebagai dasar pembenaran (justifikasi) teorinya).
2)         Memiliki sistem (sistematis).
3)         Universal (berlaku di mana saja).
4)         Objektif/intersubjektif.
5)         Progresif (dinamis, teori bersifat tentatif).
6)         Dapat digunakan (ada kaitan antara teori dengan praktik).
7)         Tanpa pamrih (prinsip ilmu demi ilmu).
Adapun Robert Merton, seorang sosiolog (terkait metode ilmiah), mengemukakan ciri-ciri metode ilmiah yang diterima secara luas yakni mencakup lima nilai dasar: (1) “universalisme”, (2) “komunisme”, (3) “ketanpa-pamrihan”, (4) “skeptisisme”, dan (5) “terorganisir” (Chadwick, Bruce A., Howard M. Bahr, Stan L. Albercht, Metode Ilmu Penelitian Sosial, Terjemahan Dr. Sulistia, ML, Dkk, Semarang: Press, 1991:13).
Universalisme mengacu pada suatu pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui batas-batas individu, ruang, waktu atau tempat penemuan teori itu. Kebenaran ilmiah dianggap relevan dan dapat diterapkan dalam konteks yang universal. Komunisme di sini dimaksudkan sebagai kewajiban ilmuwan untuk mengomunikasikan hasil temuannya kepada orang lain dan bagi mereka yang berminat pada umumnya, sehingga temuan ilmiah bukan milik perorangan, organisasi, univrsitas atau lembaga ilmiah/penelitian tetapi milik bersama. Tanpa pamrih mengacu pada pencarian pengetahuan ilmiah demi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi kesohoran, uang, jabatan, atau keuntungan pribadi. Skeptisisme dan terorganisir adalah sebagai sikap yang harus dimilki ilmuwan dengan tidak menerima begitu saja temuan orang lain, tapi menerimanya dengan kritis, dengan melakukan tes ulang (verifikasi, falsifikasi).





Gambar Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan
Ciri-ciri ilmu pengetahuan yang dikemukakan di atas, lebih tepat untuk ciri ilmu pengetahuan yang empiris-eksperimental (positivisme), sedangkan untuk masa sekarang ini tokoh post-positivisme, tidak menerima semua ciri di atas bahkan teori kritis dan post modernisme menolak sebagian besar ciri ilmiah modern itu.
            Misalnya ciri ilmu pengetahuan yang berlaku universal, khususnya untuk ilmu-ilmu sosial, budaya dan humaniora kini kurang diterima. Alasannya, fakta pada fenomena sosial budaya tidak selalu sama untuk setiap waktu dan tempat. Jika fenomena alam bersifat universal (kesemestaan fenomena alam), maka fenomena sosial-budaya amat terkait dengan konteks sosial-budayanya. Artinya, terkait dengan tempat, ruang, dan waktu (historis) tertentu (budaya Amerika tidak sama dengan budaya Amerika Latin, budaya Afrika, ataupun budaya Indonesia. Selain itu, fenomena sosial budaya bersifat dinamis (berubah) dan faktanya berupa fakta yang dikonstruksi/dibentuk secara sosial budaya (insitutional facts). Konsep ilmu yang universal, objektif, dan ilmu yang bebas nilai tidak diterima dan dikritisi oleh ilmuwan sekarang ini.
            Karena itu, istilah intersubjektif acap digunakan sebagai pengganti istilah objektif. Intersubjektifitas dianggap lebih tepat digunakan pada fenomena sosial-budaya. Intersubjektif maksudnya, kebenaran teori itu diterima, diakui oleh sejumlah ilmuwan di bidangnya, berdasarkan paradigma, perspektif atau sudut pandang yang digunakan. Amartya Sen menyebutkan objektivitas yang intersubjektif ini dengan “objektivitas posisional” yang kebenarannya didasarkan atas posisi peneliti dan konteks sosial-budaya yang diteliti (Sen, 1992). Ciri ilmu pengetahuan tanpa pamrih, juga banyak dikritik akhir-akhir ini. Alasannya, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi justru perlu untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia (ada keterkaitan antara teori dengan praxis). Habermas misalnya, mengemukakan keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan. Sedangkan Michael Foucault mengemukakan adanya saling hubungan antara pengetahuan-kuasa dan kebenaran. Sekarang justru nilai praktis (pragmatis) ilmu pengetahuan menjadi pertimbangan penting (Lubis, 2004).
D.        Metodologi dan Fisafat Imu Pengetahuan
Ilmu atau bidang filsafat yang membahas tentang cara-cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan disebut metodologi. Metodolgi (juga logika) termasuk bidang yang disebut dengan “tool studies” atau mata pelajaran mengenai “alat”, maksudnya mata pelajaran itu berguna sebagai “alat” bagi mata pelajaran lain. Sedangkan mata pelajaran yang membahas bahan materi atau isi pelajaran disebut “content studies”. Mata pelajaran mengenai isi (content studies) adalah mata pelajaran yang mengajarkan fakta-fakta, bahan atau informasi tentang mata pelajaran/kuliah tertentu.
Metodologi (termasuk bahasa dan logika) adalah mata pelajaran alat yang diperlukan oleh semua bidang ilmu pengetahuan. Terkait metodologi dan logika, keduanya adalah dua cabang filsafat yang memiliki kedekatan, musabab itu terkadang metodologi dimasukkan dalam kajian logika. Logika membicarakan bagaimana cara untuk memperoleh (menarik) kesimpulan dengan benar. Dalam dunia ilmu pengetahuan ada dua model penalaran dan logika yang dominan, yaitu: induktif dan deduktif. Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan yang bertolak dari sejumlah data (sample); kita menarik kesimpulan (generalisasi) mengenai semua fakta yang bercorak demikian. Adapun penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari hal-hal umum, lantas menarik kesimpulan yang lebih khusus. Induksi dan deduksi adalah proses penalaran, atau aturan untuk menarik kesimpulan. Metodologi adalah ilmu yang membahas tentang berbagai macam cara/metode yang digunakan untuk menemukan teori atau kesimpulan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan (metode ilmu alam, biologi, sosiolog, psikologi, politik, sejarah, sastra, dan lain-lain). Metodologi membicarakan hal-hal yang bersifat umum (observasi, hipotesis, hukum, toeri, langkah eksperimen), akan tetapi juga bisa membicarakan hal yang lebih bersifat khusus. Misalnya pembahasan mengenai dasar pemikiran, asumsi, dan cara penerapan metode fenomenologi pada sosiologi seperti yang dilakukan Alfred Schultz, atau dasar pemikiran dan penerapan metode interpretasi pada sosiologi interpretatif Peter Berger.
Terkait dengan ilmu pengetahuan, filsafat ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan pada (1) filsafat ilmu pengetahuan umum dan (2) filsafat ilmu pengetahuan khusus. Filsafat ilmu pengetahuan umum membahas problem filsafat ilmu yang terdapat pada ilmu pengetahuan pada umumnya, sementara filsafat ilmu pengetahuan khusus membahas problem filsafat pada kelompok ilmu tertentu. Misalnya, filsafat ilmu pengetahuan alam membahas problem filsafat yang berkaitan dengan kelompok-kelompok ilmu pengetahuan alam, dan filsafat ilmu pengetahuan sosial membahas problem filsafat pada ilmu pengetahuan sosial-humaniora. Filsafat ilmu pengetahuan alam sendiri masih dapat dibahas lagi secara lebih khusus, sesuai dengan bidang ilmu yang termasuk pada kelompok ilmu pengetahuan alam. Umpamanya untuk filsafat ilmu pengetahuan alam ada filsafat fisika, filsafat matematika, filsafat biologi dan lain-lain. Demikian pula filsafat ilmu pengetahaun sosial masih dapat dibahas lebih khusus pada bidang yang lebih khusus lagi seperti: filsafat sosial, filsafat politik, filsafat psikologi, filsafat ekonomi, filsafat bahasa, filsafat seni, dan lain-lain (Kattsoff, 1986: 71-73).
Berhubungan dengan definisi, maka filsafat ilmu pengetahuan dapat dimengerti sebagai refleksi mendasar dan kritis tentang hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. A. Cornelius Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu pengetahuan sebagai berikut: “That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of scienc, especially of its methods, its concepts and presuppotions, and its place in general scheme of intellectual disciplines” (Liang Gie, 1991:58). Filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yan menelaah secara sistematis sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya serata asumsi-asumsi/prasangka serta posisinya dalam kerangka umum dari berbagai cabang pengetahuan ilmiah. Liang Gie, berdasarkan sekumpulan definisi yang dikutipnya, merumuskan bahwa filsafat ilmu pengetahuan membahas landasan (Foundation) dari ilmu pengetahuan yang mencakup: konsep-konsep dasar, anggapan-anggapan dasar (asumsi dasar), asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, dan kriteria kebenaran ilmiah (Liang Gie, 1991: 62)
Adapun aspek-aspek yang menjadi fokus utama dalam bahasan fislafat ilmu pengetahuan di antaranya adalah:
1.         Studi tentang: (a) konsep-konsep, pengandaian-pengandaian serta metodologi ilmu, (b) analisis konsep-konsep dan bahasa yang digunakan, dan (c) ekstensi dan rekonstruksi bagi aplikasi yang lebih konsisten dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
2.         Studi dan justifikasi (pembenaran) proses penarikan kesimpulan yang digunakan ilmu pengetahuan serta struktur simboliknya.
3.         Studi tentang keragaman bidang ilmu serta sifat saling keterkaitannya, persamaan, perbedaan, serta persoalan paradigmanya.
4.         Studi tentang konsekuensi-konsekuensi pengetahuan ilmiah bagi persepsi kita tentang realitas, pemahaman kita tentang fenomena alam; hubungan logika dan matematika dengan realitas status entitas-entitas teoritis; sumber-sumber ilmu pengetahuan dan validitasnya; hubungan ilmu pengetahuan dengan subjek (ilmuwan) serta dengan nilai-nilai (etika dan estetika). Hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, terutama dengan nilai moral (etika) menjadi pembahasan yang menarik. Ketika dirasakan begitu banyak dampak negatif penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap manusia dan lingkungannya, maka disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan aturan-aturan moral (etika ilmiah, etika profesi) yang dapat dijadikan pedoman untuk menentukan baik dan buruknya suatu tindakan.
5.         Analisis tentang berbagai konsep dan masalah yang galibnya digunakan dalam metode ilmiah, seperti: fakta, evidensi, aksioma, dalil, postulat, observasi, deskripsi, penjelasan, konsep, klasifikasi, model, hipotesa, teori, hukum deduksi, induksi, kausalitas, verifikasi, falsifikasi, probabilitas, dan lain-lain. Istilah ini ditemukan dalam pembahasan metodologi (Bagus, 1996:313).
Dalam pembahasan di atas, filsafat ilmu pengetahuan dapat disebut juga sebagai refleksi tahap kedua (secondary reflextion). Yaitu pemikiran kritis dan radikal mengenai berbagai aspek ilmiah. Refleksi tahap kedua ini merupakan satu bukti kesetiaan filsafat pada “sikap keingintahuan” dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar, konsep, teori yang dihasilkan berbagai bidang ilmu pengetahuan, sehingga berkembang apa yang kita sebut dengan: filsafat ilmu pengetahuan sosial, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat komunikasi, filsfat bahasa, fisafat teknologi, dan lain-lain.

E.         Istilah-istilah yang Penting dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan
Adapun istilah (konsep) penting yang dibicarakan dalam filsafat ilmu pengetahuan adalah (1) Fakta, (2) Konsep, (3) Definisi Konseptual dan Definisi Operasional, (4) Postulat, (5) Asumsi, (6) Hipotesis, dan (7) Teori.
1.         Fakta
Bertrand Russell menyatakan bahwa fakta adalah segala sesuatu yang ada di alam ini. Fakta memiliki peran sangat penting dalam ilmu pengetahuan. Fakta adalah sesuatu yang dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan benar-benar secara empiris. Fakta mengenai fenomena alam fisis, sosial, budaya, ekonomi dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Ada hubungan yang sangat erat antara fakta dengan teori. Ketika seseorang memanaskan seng, timah, besi yang ia panaskan itu memuai, maka dicobalah untuk menarik hubungan antara pemanasan dengan pemuaian (logam) itu. Penjelasan terkait hubungan antara fakta-fakta itu disebut teori (misalnya: jika logam dipanaskan maka logam itu memuai). Jadi teori adalah suatu pernyataan yang dapat dibuktikan benar atau salahnya, dan ada hubungan yang erat antara fakta dengan teori. Ada juga ilmuwan yang menyatakan bahwa “teori terdiri dari dua pernyataan abstrak atau lebih” yang saling berkaitan (Wuisman, 1996: 204).
Beberapa peran fakta adalah sebagai berikut:
a.         Untuk membenarkan teori (memverivikasi) atau membuktikan salahnya (memfalsifikasi) teori. Peran semacam ini kerap kita lihat di bidang ilmu alam ataupun sosial.
b.         Untuk mempertajam (memperluas) rumusan teori yang ada. Ketika ditemukan seseorang meninggal karena flu yang berasal dari burung (unggas), maka perumusan tentang flu burung semakin luas. Bila sebelumnya dikatakan bahwa flu burung tidak menular dari manusia ke manusia, maka jika ditemukan fakta baru yang menunjukkan penularan dari manusia ke manusia, maka pemahaman tentang flu burung menuntut perluasan wawasan atau perubahan teori.
c.         Untuk menimbukan munculnya teori baru. Teori yang menyatakan bahwa alam semesta ini terdiri dari tujuh planet misalnya, terbantah ketika ditemukan planet yang kedelapan. Eksperimen Galileo di menara Pisa umpamanya menolak teori benda jatuh yang dikemukakan Aristoteles.





Gambar Peran Fakta
Pentingnya fakta dalam dunia ilmu pengetahuan tidak diragukan, apalagi pada pendekatan empiris-eksperimental, sementara dalam filsafat pembahasan mengenai fakta lebih merupakan analisis kritis tentang makna yang dikandung fakta itu. Filsafat tidak menerima fakta secara dangkal. Misalnya pandangan yang menyatakan bahwa ketidakterkaitan antara fakta dengan teori sebagaimana dikemukakan pendukung positivism. Dalam filsafat ilmu yang berkembang sekarang ini (post-positivisme) dinyatakan, bahwa paradigm kerangka teori yang digunakan ilmuwan memengaruhi pengamatan dan penjelasan kita tentang fakta. Thomas Khun atau Michel Poolanyi contohnya, menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara sendiri, fakta hanya berbicara dalam kerangka teori atau pandangan dunia/paradigm tertentu. Newton di awal masa modern, umpamanya memandang alam sebagai sebuah mesin raksasa yang dapat dijelaskan berdasarkan hokum-hukum gerakan. Pandangan ini tidak diperoleh melalui pengamatan, akan tetapi merupakan suatu pra-anggapan, suatu “pandangan metafisika”.
2. Konsep
Dalam berpikir dan menyatakan suatu fakta, kita menggunakan bahasa dan symbol (konsep). Ilmu pengetahuan diawali dengan menciptakan konsep-konsep untuk mendeskripsikan fakta atau dunia empiris. Semua bidang ilmu memiliki konsep-konsep untuk mendeskripsikan dunia empiris yang menjadi focus kajiannya. Adapun konsep itu merupakan abstraksi yang mewakili objek, sifat-sifat satu fenomena tertentu. Misalnya konsep “demokrasi”, “femnis” “modernisasi” “struktur”, “ruang”, “waktu”, dan lain-lain.
Konsep dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya mengacu pada sifat-sifat dari objek yang dipelajari. Konsep (1) membantu seseorang untuk menentukan sifat-sifat mana dari kenyataan/fenomena yang menjadi focus kajian dan penelitiannya. Konsep itu memiliki fungsi untuk memberikan pemahaman yang sama di antara kelompok ilmuwan, sehingga membantu anggota (komunitas) ilmuwan untuk berkomunikasi di antara mereka. Konsep bukan fenomena yang aktual, akan tetapi abstraksi tentang objek/fenomena. Konsep (2)memberi kita sudut pandang (stand point) yang mengarahkan dan membantu kita untuk mengamatihal-hal tertentu. Konsep juga (3) berfungsi sebagai sarana untuk membantu mengorganisir gagasan, data, dan pengklasifikasian serta menggeneralisasi fenomena yang diamati. Misalkan, Anda mau menulis/meneliti tentang globalisasi. Anda tentu harus menjelaskan terlebih dahulu atau membuat definisi tentang globalisasi. Fungsi konsep selanjutnya adalah konsep (4) sebagai bahan dasar bagi teori. Konsep bentuk teori. Konsep-konsep yang dihubungkan secara sistematis dan logis dapat membentuk teori.









Gambar Fungsi Konsep
3. Definisi Konseptual dan Operasional
            Definisi konsep adalah definisi yang menggunakan konsep-konsep tertentu untuk mendefinisikan konsep lain.  Misalnya “power” didefinisikan secara konseptual sebagai “kemampuan actor (individu, kelompok atau negara) memengaruhi pikiran dan tingkah laku orang lain sehingga mau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak disukainya” (Muktar Mas’Oed, 1990:98). Definisi konseptual berperan untuk memperlancar komunikasi di kalangan ilmuwan. Karena itu, definisiyang dirumuskannya secara konsisten atau tidak. Definisi konseptual biasanya berkaitan dengan konsep yang abstrak atau yang tidak dapat diobservasi secara langsung, misalnya ideologi, kepentingan, sikap, persepsi, motivasi, dan lain-lain. Agar konsep yang abstrak dapat ditingkatkan ke wilayah observasional atau ketingkah laku (fenomena empiris), maka konsep abstrak itu mesti dirumuskan dalam bentuk definisi operasional (masalah ini dibahas dalam metode penelitian).
4. Postulat
            Postulat dalam ilmu pasti sama maksudnya dengan aksioma, yaitu consensus yang dianut/diterima secara arbitrer. Postulat berfungsi sebagai suatu kebenaran dasar (dalil) yang tidak perlu dipertanyakan dan dibuktikan lagi. Pada paradigm positivism misalnya, terkandung aksioma bahwa realitas bersifat homogen, tunggal, dapat diteliti secara terpilah (atomistik), dan ilmu (akar, jumlah sudut segitiga). Adapun Immanuel Kant menyatakan keberadaan Tuhan adalah sebagai postulat yang perlu, agar kehidupan manusia bermoral (lihat Endang Syafuddin Anshari, 1978:64).
5. Asumsi
            Asumsi (atau anggapan dasar) ialah anggapan yang menjadi tiitik tolok penelitian. Asumsi secara implisit terkandung dalam paradigm, perspektif, dan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian. Asumsi umumnya diterima begitu saja sebagai suatu yang benar dengan sendirinya. Asumsi bisa berasal dari postulat, yaitu kebenaran (dalil-dalil) a priorii yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Michel Polanyi menyebut asumsi-asumsi itu sebagai ‘dimensi yang tidak terungkap atau tersembunyi dalam ilmu pengetahuan’. Misalnya, dalam empirisme terkandung asumsi bahwa alam ini ada, fenomena alam seragam dan sama di mana saja, alam dapat diketahui melalui pengamatan dan rasio atau metode empiris-eksperimental, fenomena alam ditentukan oleh hokum-hukum alam (deterministic) dan seterusnya.
6. Hipotesis
            De Groot, sebagaimana dikutip Wuisman (1996), mengemukakan tentang ilmu pengetahuan sebagai satu susunan bertingkat, yang bermula dari keterangan tentang fakta (fenomena) yang diteliti. Kete     rangan tentang fakta ini berperan sebagai “keterangan dasar” dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya adalah “tingkat tengah” yang sudah bersifat abstraksi dari sekelompok fakta/fenomena yang disebut dengan “hipotesis”. Hipotesis juga dapat berarti pernyataan yang dipakai sebagai jawaban/penjelasan sementara, yang kebenarannya harus dibuktikan melalui konfirmasi factual. Misalnya, jika air 100o C, maka air akan mendidih; jika logam dipanaskan maka logam itu memuai. Pernyataan (hipotesis) ini dapat dibuktikan benar atau salahnya dengan melakukan pembuktian apakah air yang dipanaskan pada temperature 100oC benar-benar mendidih dan juga apakan logam yang dipanaskan akan memuai ataukah tidak.
7. Teori
            Istilah teori ini berasal dari bahasa Yuani, yang artinya “melihat” atau “memerhatikan” dalam konteks ini, teori suatu pemandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi. Teori adalah penjelasan tentang apa yang terjadi, atau penjelasan mengapa gejala (proses) tertentu terjadi. Karena itu, teori dapat dikatakan sebagai jawaban (pernyataan) terhadap pertanyaan “mengapa”. Misalnya, mengapa penggunaan jarum suntik yang berulangkali dapan menjadi faktor pengembangbiakan penyakit HIV? Mengapa bakteri flu babi kurang berkembang pada daerah tropis? (pada ilmu pengetahuan alam atau ilmu deduktif-nomologis ada kecenderungan untuk membatasi teori pada penjelasan kausalitas).
            Namun, ada yang memberikan definisi teori lebih longgal lagi dengan mengartikan teori sebagai pernyataan (proposisi) tentang sesuatu. Pada ilmu pengetahuan sosial-budaya teori umumnya bukanlah penjelasan kausalitas, karena itu dalam kelompok ilmu idiografis (yang memiliki keunikan, kekhasan) tidak berpretensi untuk menemukan teori umum (universal), akan tetapi berupa deskripsi tentang gejala tertentu. Ketika sejarawan memaparkan tentang revolusi (Prancis, kemerdekaan Indonesia, dan lain-lain) misalnya, tidak ada ebab-akibat yang sama pada semua revolusi, masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri.
            Teori memegang peran penting dalam dunia ilmiah. Ada beberapa peran/fungsi teori itu antara lain:
a.         Untuk mengarahkan observasi
b.         Untuk merangkum pengetahuan
c.         Untuk memprediksi atau mengontrol fakta (Nasuton, 1991).
Teori berfungsi mengarahkan observasi, maksudnya adalah ketika kita melakukan observasi dalam penelitian ilmiah, maka kerangka teori yang kita pilih/gunakan untuk mengobservasi objek/fenomena(fakta) yang diteliti itu, secara langsung baik kita sadari atau tidak, teori yang kita gunakan itu mengarahkan kita untuk melihat dan menafsirkan objek/fenomena yang diteliti. Misalnya dua orang peneliti yang melakukan teori psikoanalisa Freud dan yang seorang lagi dengan menggunakan teori humanistic Maslow. Dengan menggunakan teori yang berbeda, maka kedua hal itu akan melihat dan menjelaskan “stress” dan “depresi secara berbeda. Penggunaan kerangka teori (perspektif, paradigma) dalam ilmu pengetahuan sering dianalogikan dengan seorang yang menggunakan kacamata, ia akan melihat objek sesuai dengan kacamata yang digunakan. Kacamata yang dipakai (misalnya: hitam, putih, coklat, merah, kuning) akan memengaruhi warna objek yang diamati.
Adapun teori yang berfungsi untuk memprediksi dan mengontrol fakta dapat dijelaskan serupa berikut. Dalam ilku lingkaran (ekologi), umpamanya diketahui ada hubungan yang erat antara pemanasan bumi dengan eksploitasi dan perusakan hutan serta polusi udara. Berdasarkan tingkat kerusakan hutan dan polusi udara dan air, para ilmuawan dapat meprediksi bahaya yang akan timbul beberapa tahun ke depan. Misalnya, pencairan gunung es kutub, naiknya permukaan laut, tenggelamnya beberapa pulau, perubahan iklim di bumu, serta pengaruhnya atas produksi pertanian. Untuk menghindari kumungkinan itu, para ilmuwan mencoba mengontrol perusakan hutan dan polusi udara dengan berbagai tindakan misalnya dengan penanaman hutan, penciptaan teknologi yang dapat menyerap zat korban, sehingga berbagai ancaman itu dapat dihindari.


















Gambar istilah-istilah yang penting dalam filsafat ilmu pengetahuan
G. Metode Ilmiah dan Asumsi-asumsi Ilmiah
            Metode ilmiah (seperti empiris-eksperimental) adalah hasil penemuan yang telah diupayakan manusia dalam waktu yang cukup lama. Dasar-dasarnya sudah ada pada masa Yunani, dikembangkan oleh sarjana Muslim pada masa kejayaan peradaban Islam dan kemudian dirumuskan langkah-langkahnya lebih terperinci pada masa modern. Mengingat betapa pentingnya peran metode penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Theodore Newcomb menyatakan, tidak ada temuan penelitian yang lebih bagus dari pada metode yang digunakan untuk memperolehnya (Cadhwick Cs, 1991:6).
            Metode ilmiah didasarkan pada sejumlah asumsi-asumsi yang biasanya diterima begitu saja. (Michel Polanyi menyebut asumsi-asumsi itu sebagai asumsi yang bersembunyi atau yang tidak terungkap). Soberg dan net mengemukakan beberapa asumsi-asumsi yang terdapat dalam metode ilmiah antara lain:
1.         Ada peristiwa atau fenomena yang terjadi secara berulang kembali atau peristiwa yang mengikuti alur/pola tertentu.
2.         Ada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan adalah lebih utama dari kebodohan.
3.         Ada keyakinan bahwa ilmu pengalaman memberikan dasar yang dapat dipercaya bagi kebenaran ilmu pengetahuan.
4.         Ada tatanan kausalitas dalam fenomena alam dan fenomena sosial dan manusia
5.         Ada asumsi berkaitan dengan pengamat (peneliti), antara lain:
a.         Dorongan untuk memperoleh pengetahuan sebagai alat memperbaiki kehidupan manusia.
b.         Pengamat/peneliti mampu menarik hakikat yang ada pada fenomena yang diteliti.
c.         Masyarikat ilmiah mendukung metode empiris sebagai dasar pencarian pencarian ilmu pengetahuan (Chadwick, 1991:14).


H. Epistimologi
            Karl Raimund Popper adalah professor fisika dan ahli logika yang awalnya dipengaruhi paradigm positivism, namun kemudian pemikirannya yang dikenal rasionalisme kritis melakukan beberapa kritik terhadap pandangan positivism kritis melakukan beberapa kritik terhadap pandangan positivism ilmiah. Salah satu yang menarik dari pemikirannya adalah ia tidak membedakan dengan tegas antara epistimologi dengan filsafat ilmu pengetahuan. Epistimologi Problem Solving yang ia kemukakan adalah identik dengan teori pengetahuan ilmiah. Alvin I. Goldman dalam makalah “Epistemich and the sciences af knowledge”, yang ia sampaikan dalam kongres filsafat dunia di Uni Sovier, juga menggunakan pengertian epistimologi yang tidak begitu dibedakan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Goldman mengemukakan pengertian epistimologi sebagai berikut:
            Epistemology may be viewed as the analysis and critical assessment of the mechanisms and prinshiples that generate beliefs.the logical positivist also viewed epistemology as kind of the analysis and critical assessment. But they standardly abstracted from activities of believers, from the physicological mechanism affecting beliefs and indeed from beliefs themelves considered as psycho-logical states (Goldman dan Lehrer, 1991:55)
            Sebetulnya, kecenderungan untuk tidak memisahkan secara ketat antara epistimologi dengan filsafat ilmu (pengetahuan) kita temukan juga galibnya pada filsuf post-positivisme (seperti Paul Feyerabend and Richard Rorty). Dalam buku ini pengertian epistimologi juga dibedakan secara tegas dengan filsafat ilmu (pengetahuan), sehingga kita, misalnya, dapat saja menggunakan istilah epistimologi positivism (Positivisme Comte atau Positivisme Logis) untuk menunjuk atau merujuk pandangan filsafat ilmu pengetahuan yang selalu berupaya untuk menentukan apa yang secara objektif merupakan kepastian. Penggunaan istilah epistimologi yang tidak terlalu dibedakan secara tegas dengan ilmu filsafat (Pengetahuan) ini terkait dengan pemikiran filsuf tiga dasawarsa terakhir yang condong tidak membedakan kedua istilah itu secara tegas. Ini mungkin saja disebabkan oleh semakin tidak jelasnya batas-batas antara criteria ilmu dan non-ilmu, antara episteme dan doxa pada era Post-Positivisme, yang digambarkan sebagai “kematian epistemologi” atau lenyapnya fundasionalisme seperti dikemukakan Paul Feyerabend (1975) ataupun Richard Rorty (1980).
I.          Logika dan Metodologi
Logika, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, afdalah cabang filsafat yang membicarakan bagaimana cara untuk menarik kesimpulan dengan benar/tepat. Ada aturan-aturan/prinsip-prinsip yang harus diikuti apabila kita melakukan penarikan kesimpulan. Dengan demikian, logika sesungguhnya adalah metode/cara berpikir lurus/tepat. Dalam logika dibahas cara penarikan kesimpulan yang bersifat umum, seperti logika induktif dan logika deduktif.
Sementara itu, metodologi, seperti juga yang sudah sempat diutarakan pada pembahasan sebelumnya, membicarakan tentang berbagai cara untuk memperoleh/mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan. Istilah metodologi berasal dari kata “Methodos dan logos”. Methodos dibentuk dari dua kata yakni meta yang berarti mengatasi, sesudah; dan hodos berarti jalan, cara, arah. Dengan demikian, metodologi berarti ilmu yang membicarakan berbagai macam cara, jalan, atau metode untuk memperoleh/mengembangkan ilmu pengetahuan karena ada berbagai metode yang dibicarakan dalam metodologi (metode kuantitatif dan kualitatif dengan berbagai varian lainnya), maka metodologi membicarakan aturan/cara yang ditempuh mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu. Penggunaan metode tertentu tidak bersifat fragmentaris, akan tetapi mencoba mengemukakan bagaimana rangkaian langkah-langkah penelitian dilakukan mulai dari masalah/problem sampai seorang ilmuwan menemukan pengertian atau teri baru.
Bila logika membicarakan bagaimana proses penarikan kesimpulan secara umum, maka metodologi (metode-metode) membahas secara lebih rinci langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan penelitian pada bidang ilmiah tertentu. Jadi, ada kaitan yang erat antara logika dan metodologi, karena itu metode-metode dapat juga dipandang sebagai bagian dari logika. Mengingat betapa pentingnya metode (penelitian) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, beberapa ilmuwan mengidentikkan metode penelitian itu dengan ilmu pengetahuan. Bertrand Russel, seorang ahli fisika dan matematika dan ilmu filsafat pengetahuan, mengemukakan betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan untuk memahami permasalahan filsafat (Khususnya filsafat ilmu pengetahuan), dan demikian pula sebaliknya, seorang filsuf perlu memahami perkembangan ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka mereka akan menjadi ilmuwan atau filsuf yang menyedihkan. Lebih jauh, Umberto Eco menyatakan, seorang professor yang dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan (setidaknya sesuai bidangnya), maka lbih baik ia pension saja.
J. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
            Dalam ilmu pengetahuan, umumnya klasifikasi tersebut didasrkan atas perbedaan cirri-ciri atau sifat suatu objek (ontology) yang diteliti. Berdasarkan strata atau urutan objek yang menjadi focus kajian, maka ilmu (pengetahuan) dapat diklasifikasi atas:
1.         Ilmu-ilmu yang mempelajari strata fisio-kimiawi (organis dan anorganis) seperti: ilmu pasti alam, ilmu kimia, geologi, astronomi, teknik, dn lain-lain.
2.         Ilmu-ilmu yang mempelajari strata biotic, yang mempelajari organism yang hidup, seperti: ilmu hayat, kehutanan, peternakan, dan ilmu medis.
3.         Ilmu yang mempelajari strata psikis: ilmu yang mempelajari psike (jiwa:persepsi, naluri, emosi, kognisi, afeksi, motivasi) dan tingkah laku manusia.
4.         Ilmu-ilmu yang mempelajari strata khas manusia, yaitu kenyataan manusia sebagai mahluk yang unik dan multidimensional.
Disamping itu, kita juga dapat melihat penggolongan ilmu (pengetahuan) seperti yang terhidang dalam table berikut:
No       Kelompok Ilmu          Subjek-Objek  Metode            Tujuan
1.         Ilmu formal (a priori)  -           Objeknya dunia III
-           Universal         Deduktif-aksiomatis   Kepastian Universalitas
2.         Ilmu Alam       Objek anorganis          Empiris
Deduktif
Induktif           Eksplanasi kausal-mekanis
Prediksi
Retrodiksi
Nomotetis
3.         Ilmu Hayat      Objek Organik            Empiris
Deduktif
Induktif           Eksplanasi
Fungsional
4.         Ilmu Sosial      Manusia dan Masyarakat        Empiris, Deduktif
Induktif, Intuitif, Fenomenologis, Hermeneutis         Eksplanasi
Kualitatif
Verstehen
5.         Ilmu Budaya   Manusia dan Karyanya           Empiris, Fenomenologi,Hermeneutika, semiotika, fragming, dll.            Deskripsi
Versthen
Kualitatif

Kelompok-kelompok ilmu (pengetahuan) di atas sering disederhanakan ke dalam dua kelompok ilmu pengetahuan, yaitu (1) kelompok ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, astronomi, biologi, dan lain-lain) dan (2) kelompok ilmu social-budaya. Kelompok ilmu pengetahuan alam tersseebut disebut juga kelompok ilmu nomotetis, lantaran tujuan penelitian dalam bidang ilmu ini adalah mencari hokum-hukum (nomos). Metode yang digunakan biasanya adalah metode empiris-kuantitatif dengan model penjelasan kausalitas tentang fenomena alam. Karena itu, kelompok ilmu ini disebut juga ilmu empiris-kuantitatif, atau kelompok ilmu yang menggunakan model bahasa penjelasan sebab-akibat. Sehingga disebut juga kelompok ilmu Eklaeren.
Sementara itu, kelompok ilmu social-budaya menggunakan metode hermeneutika, fenomenologi atau metode kualitatif dan menggunakan bahasa deskriptif. Oleh karena itu, kelompok ilmu ini disebut juga kelompok ilmu Versthen (pemahaman, penafsiran). Kelompok ilmu social-budaya umumnya tidak berpretensi untuk mencari hokum sosial-budaya yang berlaku umum (universal), akan tetapi lebih pada upaya untuk memahami keunikan atau kekhasan satu fenomena sosial-budaya (karena itu kelompok ilmu ini juga disebut “ilmu idiografis”). Misalnya tentang revolusi kemerdekaan, jika kita perhatikan secara seksama, maka  tidak ada revolusi yang sama persis sebab-akibatnya, masing-masing revolusi (Amerika, Mesir, Indonesia) memiliki perbedaan dan keunikannya masing-masing. Adapun pada universitas-universitas di Amerika Serikat misalnya umumnya ilmu pengetahuan dikelompokkan atas tiga kelompok besar yaitu : (1) ilmu pengetahuan Alam (natural sciences), (2) ilmu-ilmu pengetahuan sosial (Sosial science), dan ilmu Humaniora (humanities), (Wilson Gee, 1950).
K. Pandangan Seputar Ilmu Pengetahuan
            Tidak sedikittokoh, pemikir atau ilmuwan yang telah melahirkan pandangan dan ilmu pengetahuan yang baru (setidaknya para era mereka hidup). Nama-nama pemikir atau ilmuwan itu (untuk menyebutkannya saja) misalnya adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo, Newton dan Rene Descartes.
            Francis Bacon, seorang tokoh yang dipengaruhi Ibnu Rusyd, misalnya menekankan pentingnya metode baru (novum Oganon), yaitu metode eksperimen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bacon juga telah mengemukakan peran ilmu pengetahuan untuk menciptakan kemajuan dan kemakmuran bagi umat manusia. Bagi bacon, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan/kekuatan (knowledge/science is power). Bacon berpendapat bahwa Tuhan telah menciptakan alam secara rasional, sehingga gejala-gejala alam dapat dijelaskan berdasarkan pengalaman (ingatlah phytagoras yang menyatakan bahwa bilangan sebagai arhe alam semesta).
Sementara itu, Corpernicus (1473:1543) terkenal dengan revolusi Copeenicannya menyatakan bahwa bumi dan planet-planet mengelilingi matahari (heliosentrisme). Revolusi Carpanican ini mengganti pandangan dunia geosentris menjadi heliosentris. Corpanicus mengemukakan bahwa fenomena alam tergantung pada suatu system tunggal dan pada beberapa aksioma geometris. Gagasan ini mendapat tantangan dari kalangan gereja yang menerima pandangan geosentris dari Ptolemeus. Oleh pihak kalangan kerajaan pandangan Pteolemeus dianggap lebih tepat dibandingkan dengan pandangan Heliosentris.  Kalangan gereja sadar jikalau pandangan Corpernicus diterima berarti semua tatanan dan kehidupan manuia akanrusak (Santoso, 1977:68).
Gallileo dan Newton memperkuat gagasan Corpernicus. Galileo menggunakan teleskop dalam observasi gerakan planet. Alam menurutnya, adalah sebuah “buku besar” dan kita dapat membacanya jika kita menguasai bahasanya. Bahasanya adalah segitiga, lingkaran (bahasa geometri). Alam seperti bola dan segenap benda-benda angkasa bergerak secara teratur dalam satu lintasan (circular uniform motion). Gallileo mengemukakan bahwa Venus dan Mercurius seperti bulan, tidak memancarkan cahayanya sendiri, melainkan mendapat pantulan cahaya dari matahari. Gallileo menemukan lintasa peluru, hokum gerak dan menemukan yupiter. Adapun Newton (1943-1727) menemukan teori gravitasi, perhitungan calculus dan optic. Gallileo dan Newton telah melakukan prinsip kerja ilmiah melalui pngamatan yang teliti, penyingkiran hal yang tidak termasuk hal yang diamati, idealisasi, penyusunan teori yang spekulatif yang didasarkan atas fakta, pengukuran, prediksi serta pengajuan teori yang didasarkan atas perhitungan matematis (Santoso, 1977: 75-77).
Tokoh lain, Rene Descartes, setelah mengemukakan metodenya, berkeyakinan bahwa dengan metodenya itu  manusia akan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan dengan itu umat manusia akan menjadi penguasa dan pemilik alam (maitres et posseseuors de la nature). Rene Descartes menempati posisi istimewa dalam dunia filsafat sebagai bapak pemikir modern. Ia dianggap membawa suatu revolusi pemikiran yang dikenal dengan revolusi Cartesian. Melalui kesangsian metodis, ia menemukan gagasan “cogito ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada). Ia menempatkan rasio sebagai ukuran dan penentu kebenaran. Sesuatu benar, jika rasional. Ia mencari dan membentuk satu ilmu induk melalui satu prosedur (metode ilmiah), yaitu metode rasional-deduktif yang ia peroleh dari metode keraguannya. Pandangannya tentang alam semesta sebagai sebuah mesin yang bergerak secara mekanis menggantikan pandangan alam yang teleogis pada Aristetolian.
Pada pertengahan abad ke-17, usaha untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan sekadar dilakukan oleh individu, akan tetapi juga oleh kelompok ilmuwan beserta dengan majalah ilmiahnya. Pada tahun 1662 lahir Royal Society di Inggris dengan majalah yang berjudul Philosophical Transaction, Academie  des Sciences dan di Prancis pada tahun 1663 dengan jurnal des Savancts. Royal Sosiety didirikan atas maklumat Raja Charles II sebagai pengaruh dari tulisan-tulisan Bacon. Pendirian lembaga-lembaga ini telah mendorong ilmuwan di Negara lain untuk mendirikan lembaga serupa seperti usaha Leibniz selama 47 tahun mendirikan mendirikan akademi der wissenchaften di Berlin. Akademi ilmu pengetahuan ini mempunayi semangat mengembangkan ilmu penegtahuan dan berupaya mendirikan kebun raya-kebun raya dan kebun binatang-kebun binatang baik sebagai usaha kerajaan atau lembaga swasta, sebagai tempat perkumpulan ilmiah, atau sebagai tempat penelitian/eksperimen. Observatorium-observatorium mulai berkembang, seperti di Greenwich dekat London yang didirikan ata bantuan raja Charles II dan ini dinilai memberikan manfaat besar bagi pelaut-pelaut Inggris selama bebrapa abad berikutnya.
Salah satu hasil paling penting dari perkumpulan dan lembaga ilmu pengetahuan modern ini adalah penyebarluasan filsafat alam (natural philosophy) ke seluruh Eropa. Ini melahirkan pula cara berpikir kritis/rasional dan ide-ide mekanistis tentang alam yang kemudian berkembang ke seluruh penjuru Eropa (namun diikuti pula dengan lahirnya pandangan deisme, agnotisme, dan ateisme ilmiah. Deisme adalah kepercayaan bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam urusan alam (“Tuhan beristirahat dengan tenang”). Sedangkan agnotisme adalah sikap ragu apakah Tuhan ada atau tidak, karena itu cenderung untuk tidak membicarakannya sama sekali. Sementara ateisme adalah aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Ateisme ini sebagai konsekuensi pandangan materialisme dan naturalisme.




















BAB III
PENUTUP

A.        Simpulan
Pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Ciri–ciri pengetahuan yang bersifat ilmiah :
a)         Mempunyai derajat kepastian yang tinggi, dimanah pijakan berpikirnya dilandasi pengetahuan yang luas.
b)         Mempunyai alur berpikir yang sistematis dan sistemik.
c)         Memiliki kadar kebenaran yang luas dan disepakati bersama, sehingga pengetahuan ilmiah mempunyai metode ilmiah yang sama. (Wahidin, 2009).
Adapun istilah (konsep) penting yang dibicarakan dalam filsafat ilmu pengetahuan adalah (1) Fakta, (2) Konsep, (3) Definisi Konseptual dan Definisi Operasional, (4) Postulat, (5) Asumsi, (6) Hipotesis, dan (7) Teori.

B.        Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami menyadari sepenuhnya berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini senangtiasa kami terima dengan baik. Penulis banyak berharap para pembaca yang memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang pada umumnya.