BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata
falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari
bahasa Arab , yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia.
Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata
(philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga
arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata
filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang
mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa
dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa
dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis, ini didalami tidak dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini
secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi
falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Dewasa ini, kita
dapat melihat akan adanya dominasi ”cara berpikir” yang dilakukan oleh para
pemikir barat. Penguasaan tersebut telah menguasai hampir seluruh dunia; karena
barat telah berhasil mengembangkan teknologi, kebudayaan sekaligus
peradabannya. Bagi negara berkembang ketergantungan akan dominasi barat sangat
kentara sekali, apalagi dilihat dari kacamata filsafat, barat berhasil dalam
mengembangkan dan menanamkan ”cara berpikirnya”. Sebetulnya
pemeikiran-pemikiran barat pada hakikatnya berupa tradisi pemikiran yang
diambil dan dilahirkan dizaman Yunani kuno. Dengan kata lain, bahwa filsafat
Yunani Kuno dimajukan sebagai pangkal sejarah filsafat (pemikiran) Barat. Para
ahli pada zaman itu, mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan
sifat dari pemikiranya bersifat mitologik (keteranganya didasarkan atas mitos
dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir
alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM),
herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir
lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat ke arah kemegahannya.
Sejak abad 5 SM, pemikiran filsafat beralih kearah manusia dengan kemampuan
berpikirnya, masa ini dikenal dengan masa antropologis. Masa ini dokenal
sederet ahli pemikir seperti Sokrates, Plato, Aristoteles. Pada Akhirnya
filsafat membentuk ruang lingkup yang semakin luas serta dengan beraneka ragam
permasalahan. Pemikiran filsafati pada masa itu diartikan sebagai
bermacam-macam ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian dan ciri
filsafat ilmu pengetahuan?
2. Bagaimanakah metodologi filsafat ilmu
pengetahuan?
3. Bagaimanakah bentuk pengklasifikasian
dan pandangan seputar ilmu pengetahuan?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian dan
ciri filsafat ilmu pengetahuan.
2. Untuk mendeskripsikan metodologi
filsafat ilmu pengetahuan.
3. Untuk mendeskripsikan bentuk
pengklasifikasian dan pandangan seputar ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengetahuan dan Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan
adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk
menindaki, yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan
memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas
suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk
menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan
berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Inilah yang disebut potensi untuk
menindaki.
Dalam
pengertian lain, pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang
menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang
belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang
mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang
bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
Dari
berbagai macam sumber, pengetahuan juga memiliki makna:
1. Pengetahuan merupakan kekayaan mental
yang secara langsung atau tidak langsung memperkaya kehidupan kita, kehidupan
manusia tidak luput dari pengetahuan, karena pengetahuan merupakan sumber
jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul disekitar kita. (Jujun S. Suriasumantri, 1990)
2. Pengetahuan adalah sesuatu yang hadir
dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi,
persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan alam sekitarnya. (Mahammad Adlany,
2009)
3. Pengetahuan adalah suatu keadaan yang
hadir dikarenakan persentuan kita dengan suatu perkara. (Mahammad Adlany, 2009)
Dari
berbagai definisi tentang pengetahuan Jujun S. Suriasumantri mengemukakan bahwa
kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah
teruji secara empiris itulah yang disebut dengan ilmu. (Jujun S. Suriasumantri,
1990).
Ciri–ciri
pengetahuan yang bersifat ilmiah :
a) Mempunyai derajat kepastian yang
tinggi, dimanah pijakan berpikirnya dilandasi pengetahuan yang luas.
b) Mempunyai alur berpikir yang sistematis
dan sistemik
c) Memiliki kadar kebenaran yang luas dan
disepakati bersama, sehingga pengetahuan ilmiah mempunyai metode ilmiah yang
sama. (Wahidin, 2009).
Setiap
jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi),
bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut
disusun. (Jujun S. Suriasumantri,1990). Ketiga landasan ini saling berkaitan. Jadi
ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait
dengan aksiologi ilmu dst. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi
ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Ilmu
mempelajari alam sebagaimana adanya dan terbatas pada lingkup pengalaman kita.
Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia dan digunakan untuk menawarkan
kemudahan. Pengetahuan ilmiah merupakan sebagai alat bagi manusia dalam
memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada
dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Dengan ilmu
manusia memanipulasi dan menguasai alam. Dengan mempelajari alam manusia dapat
mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan berkembang melalui pengalaman dan rasionalisme yang didukung oleh metode
mencoba-coba/trial-and error .(Jujun S. Suriasumantri, Hal : 105-106).
Ilmu
atau ilmu pengetahuan juga memiliki definisi sebagai seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan
rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup
pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu
bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan
berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang
dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh
mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari
epistemologi.
B. Pengetahuah Sehari-hari dan Pengetahuan
Ilmiah
Perbedaan
antara pengetahuan sehari-hari (commonsence) dengan pengetahuan ilmiah
(science). Perbedaan antara keduanya disajikan dalam tabel berikut.
Tabel
Perbedaan Pengetahuan Sehari-hari dan Pengetahuan Ilmiah
No
. Faktor Pembeda Pengetahaun
Sehari-hari Pengetahuan ilmiah
1 Tujuan Berguna
untuk kehidupan sehari-hari Menemukan
kebenaran, memperluas pemahaman/pengetahauan, deskripsi, eksplanasi,
interpretasi, prediksi, retrodiksi, penemuan, aplikasi, kontrol
2 Metode Tanpa
metode Kualitatif dan kuantitatif
3 Bahasa Ambigu/kabur Lugas/tepat, verifikasi/falsifikasi
Pengetahuan
sehari-hari adalah bentuk pengetahuan yang digunakan untuk kepentingan
sehari-hari. Karena itu, disebut juga dengan pengetahaun eksistensial. Dalam
kehidupan sehari-hari misalnya banyak ditemukan cara pengobatan yang termasuk
pengetahuan eksistensial dan diwariskan secara turun-temurun. Umpamanya
daun-daunan, akar-akaran, umbi-umbian yang digunakan untuk mengobati suatu
penyakit. Contoh yang jelas dan sederhana adalah berbagai jenis jamu yang
digunakan (oleh masyarakat tradisional) tanpa pembuktian laboratorium
(pembuktian ilmiah), sehingga tidak dapat diketahui dan dijelaskan oleh mereka
mengapa akar-akaran atau daun-daun itu bisa mengobati suatu penyakit. Akan
tetapi sebagai masyarakat awam percaya begitu saja jamu itu sanggup mengobati
penyakit, tanpa dapat menjelaskan alasannya (Suriasumantri, 2001).
Jika
jenis jamu itu dapat dianalisis/diteliti melalui laboratorium oleh seorang ahli
tentang kandungan zat-zat kimia yang dikandungnya, kemudian diketahui bahwa zat
itu memang ampuh untuk mengobati (mematikan) penyakit atau bakteri tertentu,
maka kita mendapatkan penjelasan mengapa, jamu itu dapat menyembuhkan penyakit
tertentu. Berarti, pengetahuan sehari-hari itu sudah ditingkatkan menjadi
pengetahuan ilmiah. Apabila pembuktian ilmiah dilakukan berkali-kali
(diverivikasi) dan hasilnya serupa dengan hasil penelitian sebelumnya, maka
dapat diberikan penjelasan (kausalitas) mengapa jamu dapat mengobati/membunuh
bakteri tertentu. Pemaparan secara jelas, sistematis dengan pernyataan yang
dapat dibuktikan (dijustifikasi) berdasarkan pengalaman/eksperimen, maka
pengetahuan biasa sudah meningkat menjadi pengetahuan ilmiah.
Berbeda
dengan pengetahuan sehari-hari, tujuan ilmu pengetahuan/pengetahuan ilmiah
adalah (1) untuk menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Menjawab
pertanyaan “mengapa” merupakan inti kegiatan ilmiah. Penjelasan (Erklaeren atau
eksplanasi) adalah pemaparan yang bersifat kausalitas, misalnya air jika
dipanaskan pada temperatur 100°C, maka akan mendidih. Penjelasan kausalitas
merupakan tujuan ilmu pengetahuan yang penting (terutama pada ilmu-ilmu alam
dan ilmu pengetahuan sosial-humaniora yang menggunakan metode ilmu pengetahuan
alam). Ilmu pengetahuan yang menjelaskan atau berupaya mencari hukum-hukum alam
yang disebut nomotetis. Pada psikologi behaviorisme, “stimulus-respons”
merupakan penjelasan kausalitas terkait tingkah laku manusia.
Di
samping untuk menjelaskan fenomena alam, tujuan lainnya dari ilmu pengetahuan,
yaitu (2) deskripsi/pemaparan, (3) retrodiksi, (4) prediksi, dan (5) kontrol
(Sudarminta, 2002). Berbeda dengan penjelasan, deskripsi adalah upaya untuk
menjawab pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, di mana dan berapa. Intinya,
deskripsi merupakan bentuk pemaparan atau laporan ihwal suatu peristiwa atau
fenomena alam dan sosial budaya. Sewaktu tukang jamu memaparkan bagaimana ia
meracik jamu dari tumbuh-tumbuhan tanpa menjelaskan alasan mengapa bahan
racikan itu dipilih dan mengapa bahan itu dapat mengobati satu penyakit, maka model
wacana yang dihasilkan adalah deskripsi.
Beberapa
dari deskripsi, retrodiksi adalah model pemaparan rekonstruktif tentang masa
lalu, yang didasarkan atas fakta (artefak, fosil) yang ditemukan. Contohnya,
para arkeolog dan sejarawan dapat memperkirakan bagaimana kebudayaan Mesir 3000
tahun yang lalu berdasarkan artefak yang mereka temukan akhir-akhir ini. Atau
para biolog merekonstruksi bagaimana kehidupan binatang purba (dinosaurus)
berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan. Charles Darwis umpamanya mengemukakan
teori evolusi dengan mengumpulkan berbagai peninggalan fosil yang sebelumnya
dianggap tidak berarti sama sekali. Darwin menggunakan fosil-fosil itu sebagai
dasar untuk mengkonstruksi teori evolusinya yang kontroversi itu dan ternyata
sangat memengaruhi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Jika
retrodiksi adalah model pemaparan yang berorientasi ke masa lalu, maka prediksi
adalah model pemaparan yang bertujuan atau berorientasi ke masa depan. Jika
jumlah penduduk Jakarta sekarang 12 juta (X), dan pertambahan penduduk per
tahun 2 persen (Y), maka jumlah penduduk Jakarta sepuluh tahun yang akan datang
akan berjumlah sekian (Z). Ini adalah contoh tujuan ilmu pengetahuan yang
berbentuk prediksi.
Kontrol
adalah salah satu tujuan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk merekayasa
peristiwa atau fenomena alam dengan menggunakan data-data atau pertimbangan
ilmiah. Misalnya untuk menghindari pertambahan jumlah penduduk Jakarta,
pemerintah DKI Jakarta dapat mengontrolnya dengan memperketat pelaksanaan KB.
Di
samping perbedaan tujuan dan metode, ada perbedaan antara pengetahuan
sehari-hari dengan ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) yakni dalam sarana
bahasa yang dipakai. Pengetahuan sehari-hari, sementara ilmu pengetahuan atau
pengetahuan ilmiah memakai bahasa ilmiah. Jika bahasa sehari-hari tanpa mempertimbangkan
ketepatan sehingga bisa bermakna ganda atau tidak jelas, maka bahasa ilmiah
digunakan dengan lugas dan jelas (ketat). Oleh karena itu, dalam bahasa ilmiah,
konsep-konsep penting misalnya dirumuskan dalam bentuk definisi, sehingga ada
kesepakatan tentang pengertian konsep/teori yang digunakan.
Briand
fay mengemukakan tiga model mengetahui antara lain: (1) mengetahui berarti
“mampu mengidentifikasi”. Misalnya pada pernyataan: “saya tahu jamu dapat
mengobati penyakit”. Contoh lain, “saya tahu mereka politisi busuk”.
Selanjutnya mengetahui bisa berarti (2) “memiliki pengalaman yang sama”.
Misalnya “saya tahu bagaimana sakitnya dituduh politisi busuk”. Pengertian
“mengetahui” yang lain bisa berarti “sanggup menguraikan dan menerangkan”.
Misalnya “saya tahu mengapa mereka disebut politisi busuk”. Ilmu pengetahuan
tidak cuma sekadar mengetahui dalam pengertian yang pertama, akan tetapi lebih
pada cara mengetahui model ketiga, yaitu pada taraf menguraikan dan menjelaskan
(Fay, 2002:9).
Gambar
Tiga Model Mengetahui (Know)
Hampir sama dengan Bryan Fay, Sony
Keraf dan Mikhael Dua membedakan antara: pengetahuan (1) “tahu bahwa”, (2)
“tahu bagaimana”, (3) tahu akan/mengenai” dan (4) “tahu mengapa”.
“pengetahuan
tahu bahwa” adalah jenis pengetahuan informatif-teoritis, seperti “mampu
mengidentifikasi” sesuatu. Misalnya, seseorang tahu bahwa jika logam dipanaskan
akan memuai. Jenis kedua, “pengetahuan tentang bagaimana” misalnya tahu
mengoperasikan komputer dan lain-lain. Jenis pengetahuan ini disebut sebagai
pengetahuan praktis. Pengetahuan praktis biasanya juga didasari oleh
pengetahuan teoritis. Selanjutnya, “tahu akan/mengenai” adalah pengetahuan yang
didasarkan atas pengalaman dan pengenalan pribadi berkaitan dengan objek
tertentu (singular). Tingkat objektivitas pengetahuan yang didasarkan atas
pengalaman sendiri biasanya lebih tinggi dan lebih akurat. Seorang ahli mesin
contohnya akan lebih tepat mengenal bagian yang rusak dari mesin mobilnya
daripada orang lain. Adapun, “jenis pengetahuan tahu mengapa” adalah jenis
pengetahuan yang lebih dalam daripada “tahu bahwa”, lantaran pengetahuan ini
tidak berhenti pada informasi, akan tetapi lebih jauh mengetahui mengapa
sesuatu terjadi. Misalnya: mengapa benda yang dimasukkan ke dalam air berkurang
beratnya, dan juga mengetahui mengapa gravitasi dapat memengaruhi air laut
menjadi pasang-surut, dan lain-lain. Jenis pengetahuan ini sama dengan model
ketiga pada Brian Fay di atas (lihat dan Dua, 2001: 34:-39).
PENGETAHUAN
Gambar
Pengetahuan
C. Ciri Ilmu Pengetahuan/Pengetahuan Ilmiah
Ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang memiliki ciri-ciri
tertentu serta cara (metode) bagaimana memperoleh dan membuktikan kebenarannya.
Beerling (1986) mengemukakan beberapa ciri ilmu pengetahauan: pertama, anggapan
bahwa pengetahuan berlaku umum; kedua, ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan
mandiri (otonom) dalam mengembangkan norma-norma ilmiah; ketiga, pengetahuan
ilmiah mempunyai dasar pembenaran (misalnya: verifikasi, dan falsifikasi);
keempat, pengetahuan ilmiah bersifat sistematik; dan kelima, pengetahuan ilmiah
bersifat objektif (intersubjektif) (Beerling, 1986: 4-6).
Sedangkan
Van Meslen mengemukakan ciri-ciri pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) sebagai
berikut:
1) Metodis (memiliki metode (logis daan
koheren) sebagai dasar pembenaran (justifikasi) teorinya).
2) Memiliki sistem (sistematis).
3) Universal (berlaku di mana saja).
4) Objektif/intersubjektif.
5) Progresif (dinamis, teori bersifat
tentatif).
6) Dapat digunakan (ada kaitan antara teori
dengan praktik).
7) Tanpa pamrih (prinsip ilmu demi ilmu).
Adapun
Robert Merton, seorang sosiolog (terkait metode ilmiah), mengemukakan ciri-ciri
metode ilmiah yang diterima secara luas yakni mencakup lima nilai dasar: (1)
“universalisme”, (2) “komunisme”, (3) “ketanpa-pamrihan”, (4) “skeptisisme”,
dan (5) “terorganisir” (Chadwick, Bruce A., Howard M. Bahr, Stan L. Albercht,
Metode Ilmu Penelitian Sosial, Terjemahan Dr. Sulistia, ML, Dkk, Semarang:
Press, 1991:13).
Universalisme
mengacu pada suatu pemikiran bahwa kebenaran ilmu pengetahuan melampaui
batas-batas individu, ruang, waktu atau tempat penemuan teori itu. Kebenaran
ilmiah dianggap relevan dan dapat diterapkan dalam konteks yang universal.
Komunisme di sini dimaksudkan sebagai kewajiban ilmuwan untuk mengomunikasikan
hasil temuannya kepada orang lain dan bagi mereka yang berminat pada umumnya,
sehingga temuan ilmiah bukan milik perorangan, organisasi, univrsitas atau
lembaga ilmiah/penelitian tetapi milik bersama. Tanpa pamrih mengacu pada pencarian
pengetahuan ilmiah demi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi
kesohoran, uang, jabatan, atau keuntungan pribadi. Skeptisisme dan terorganisir
adalah sebagai sikap yang harus dimilki ilmuwan dengan tidak menerima begitu
saja temuan orang lain, tapi menerimanya dengan kritis, dengan melakukan tes
ulang (verifikasi, falsifikasi).
Gambar
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan
Ciri-ciri
ilmu pengetahuan yang dikemukakan di atas, lebih tepat untuk ciri ilmu
pengetahuan yang empiris-eksperimental (positivisme), sedangkan untuk masa
sekarang ini tokoh post-positivisme, tidak menerima semua ciri di atas bahkan
teori kritis dan post modernisme menolak sebagian besar ciri ilmiah modern itu.
Misalnya ciri ilmu pengetahuan yang
berlaku universal, khususnya untuk ilmu-ilmu sosial, budaya dan humaniora kini
kurang diterima. Alasannya, fakta pada fenomena sosial budaya tidak selalu sama
untuk setiap waktu dan tempat. Jika fenomena alam bersifat universal
(kesemestaan fenomena alam), maka fenomena sosial-budaya amat terkait dengan
konteks sosial-budayanya. Artinya, terkait dengan tempat, ruang, dan waktu
(historis) tertentu (budaya Amerika tidak sama dengan budaya Amerika Latin,
budaya Afrika, ataupun budaya Indonesia. Selain itu, fenomena sosial budaya
bersifat dinamis (berubah) dan faktanya berupa fakta yang dikonstruksi/dibentuk
secara sosial budaya (insitutional facts). Konsep ilmu yang universal,
objektif, dan ilmu yang bebas nilai tidak diterima dan dikritisi oleh ilmuwan
sekarang ini.
Karena itu, istilah intersubjektif
acap digunakan sebagai pengganti istilah objektif. Intersubjektifitas dianggap
lebih tepat digunakan pada fenomena sosial-budaya. Intersubjektif maksudnya,
kebenaran teori itu diterima, diakui oleh sejumlah ilmuwan di bidangnya,
berdasarkan paradigma, perspektif atau sudut pandang yang digunakan. Amartya
Sen menyebutkan objektivitas yang intersubjektif ini dengan “objektivitas
posisional” yang kebenarannya didasarkan atas posisi peneliti dan konteks
sosial-budaya yang diteliti (Sen, 1992). Ciri ilmu pengetahuan tanpa pamrih,
juga banyak dikritik akhir-akhir ini. Alasannya, bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi justru perlu untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia (ada
keterkaitan antara teori dengan praxis). Habermas misalnya, mengemukakan
keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan. Sedangkan Michael Foucault
mengemukakan adanya saling hubungan antara pengetahuan-kuasa dan kebenaran.
Sekarang justru nilai praktis (pragmatis) ilmu pengetahuan menjadi pertimbangan
penting (Lubis, 2004).
D. Metodologi dan Fisafat Imu Pengetahuan
Ilmu
atau bidang filsafat yang membahas tentang cara-cara untuk memperoleh ilmu
pengetahuan disebut metodologi. Metodolgi (juga logika) termasuk bidang yang
disebut dengan “tool studies” atau mata pelajaran mengenai “alat”, maksudnya
mata pelajaran itu berguna sebagai “alat” bagi mata pelajaran lain. Sedangkan
mata pelajaran yang membahas bahan materi atau isi pelajaran disebut “content
studies”. Mata pelajaran mengenai isi (content studies) adalah mata pelajaran
yang mengajarkan fakta-fakta, bahan atau informasi tentang mata
pelajaran/kuliah tertentu.
Metodologi
(termasuk bahasa dan logika) adalah mata pelajaran alat yang diperlukan oleh
semua bidang ilmu pengetahuan. Terkait metodologi dan logika, keduanya adalah
dua cabang filsafat yang memiliki kedekatan, musabab itu terkadang metodologi
dimasukkan dalam kajian logika. Logika membicarakan bagaimana cara untuk
memperoleh (menarik) kesimpulan dengan benar. Dalam dunia ilmu pengetahuan ada
dua model penalaran dan logika yang dominan, yaitu: induktif dan deduktif.
Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan yang bertolak dari sejumlah data
(sample); kita menarik kesimpulan (generalisasi) mengenai semua fakta yang
bercorak demikian. Adapun penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak
dari hal-hal umum, lantas menarik kesimpulan yang lebih khusus. Induksi dan
deduksi adalah proses penalaran, atau aturan untuk menarik kesimpulan.
Metodologi adalah ilmu yang membahas tentang berbagai macam cara/metode yang digunakan
untuk menemukan teori atau kesimpulan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
(metode ilmu alam, biologi, sosiolog, psikologi, politik, sejarah, sastra, dan
lain-lain). Metodologi membicarakan hal-hal yang bersifat umum (observasi,
hipotesis, hukum, toeri, langkah eksperimen), akan tetapi juga bisa
membicarakan hal yang lebih bersifat khusus. Misalnya pembahasan mengenai dasar
pemikiran, asumsi, dan cara penerapan metode fenomenologi pada sosiologi
seperti yang dilakukan Alfred Schultz, atau dasar pemikiran dan penerapan
metode interpretasi pada sosiologi interpretatif Peter Berger.
Terkait
dengan ilmu pengetahuan, filsafat ilmu pengetahuan dapat dikelompokkan pada (1)
filsafat ilmu pengetahuan umum dan (2) filsafat ilmu pengetahuan khusus.
Filsafat ilmu pengetahuan umum membahas problem filsafat ilmu yang terdapat
pada ilmu pengetahuan pada umumnya, sementara filsafat ilmu pengetahuan khusus
membahas problem filsafat pada kelompok ilmu tertentu. Misalnya, filsafat ilmu
pengetahuan alam membahas problem filsafat yang berkaitan dengan
kelompok-kelompok ilmu pengetahuan alam, dan filsafat ilmu pengetahuan sosial
membahas problem filsafat pada ilmu pengetahuan sosial-humaniora. Filsafat ilmu
pengetahuan alam sendiri masih dapat dibahas lagi secara lebih khusus, sesuai
dengan bidang ilmu yang termasuk pada kelompok ilmu pengetahuan alam. Umpamanya
untuk filsafat ilmu pengetahuan alam ada filsafat fisika, filsafat matematika,
filsafat biologi dan lain-lain. Demikian pula filsafat ilmu pengetahaun sosial
masih dapat dibahas lebih khusus pada bidang yang lebih khusus lagi seperti:
filsafat sosial, filsafat politik, filsafat psikologi, filsafat ekonomi,
filsafat bahasa, filsafat seni, dan lain-lain (Kattsoff, 1986: 71-73).
Berhubungan
dengan definisi, maka filsafat ilmu pengetahuan dapat dimengerti sebagai
refleksi mendasar dan kritis tentang hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. A.
Cornelius Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu pengetahuan sebagai berikut:
“That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of
scienc, especially of its methods, its concepts and presuppotions, and its
place in general scheme of intellectual disciplines” (Liang Gie, 1991:58).
Filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang filsafat yan menelaah secara sistematis
sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya serata
asumsi-asumsi/prasangka serta posisinya dalam kerangka umum dari berbagai
cabang pengetahuan ilmiah. Liang Gie, berdasarkan sekumpulan definisi yang
dikutipnya, merumuskan bahwa filsafat ilmu pengetahuan membahas landasan
(Foundation) dari ilmu pengetahuan yang mencakup: konsep-konsep dasar,
anggapan-anggapan dasar (asumsi dasar), asas-asas permulaan, struktur-struktur
teoritis, dan kriteria kebenaran ilmiah (Liang Gie, 1991: 62)
Adapun
aspek-aspek yang menjadi fokus utama dalam bahasan fislafat ilmu pengetahuan di
antaranya adalah:
1. Studi tentang: (a) konsep-konsep,
pengandaian-pengandaian serta metodologi ilmu, (b) analisis konsep-konsep dan
bahasa yang digunakan, dan (c) ekstensi dan rekonstruksi bagi aplikasi yang
lebih konsisten dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
2. Studi dan justifikasi (pembenaran)
proses penarikan kesimpulan yang digunakan ilmu pengetahuan serta struktur
simboliknya.
3. Studi tentang keragaman bidang ilmu
serta sifat saling keterkaitannya, persamaan, perbedaan, serta persoalan
paradigmanya.
4. Studi tentang konsekuensi-konsekuensi
pengetahuan ilmiah bagi persepsi kita tentang realitas, pemahaman kita tentang
fenomena alam; hubungan logika dan matematika dengan realitas status entitas-entitas
teoritis; sumber-sumber ilmu pengetahuan dan validitasnya; hubungan ilmu
pengetahuan dengan subjek (ilmuwan) serta dengan nilai-nilai (etika dan
estetika). Hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai, terutama dengan nilai
moral (etika) menjadi pembahasan yang menarik. Ketika dirasakan begitu banyak
dampak negatif penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap manusia dan
lingkungannya, maka disadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan
aturan-aturan moral (etika ilmiah, etika profesi) yang dapat dijadikan pedoman
untuk menentukan baik dan buruknya suatu tindakan.
5. Analisis tentang berbagai konsep dan
masalah yang galibnya digunakan dalam metode ilmiah, seperti: fakta, evidensi,
aksioma, dalil, postulat, observasi, deskripsi, penjelasan, konsep,
klasifikasi, model, hipotesa, teori, hukum deduksi, induksi, kausalitas,
verifikasi, falsifikasi, probabilitas, dan lain-lain. Istilah ini ditemukan
dalam pembahasan metodologi (Bagus, 1996:313).
Dalam
pembahasan di atas, filsafat ilmu pengetahuan dapat disebut juga sebagai
refleksi tahap kedua (secondary reflextion). Yaitu pemikiran kritis dan radikal
mengenai berbagai aspek ilmiah. Refleksi tahap kedua ini merupakan satu bukti
kesetiaan filsafat pada “sikap keingintahuan” dengan mempertanyakan
asumsi-asumsi dasar, konsep, teori yang dihasilkan berbagai bidang ilmu
pengetahuan, sehingga berkembang apa yang kita sebut dengan: filsafat ilmu
pengetahuan sosial, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat hukum,
filsafat komunikasi, filsfat bahasa, fisafat teknologi, dan lain-lain.
E. Istilah-istilah yang Penting dalam
Filsafat Ilmu Pengetahuan
Adapun
istilah (konsep) penting yang dibicarakan dalam filsafat ilmu pengetahuan
adalah (1) Fakta, (2) Konsep, (3) Definisi Konseptual dan Definisi Operasional,
(4) Postulat, (5) Asumsi, (6) Hipotesis, dan (7) Teori.
1. Fakta
Bertrand
Russell menyatakan bahwa fakta adalah segala sesuatu yang ada di alam ini.
Fakta memiliki peran sangat penting dalam ilmu pengetahuan. Fakta adalah
sesuatu yang dapat diobservasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat
dibuktikan benar-benar secara empiris. Fakta mengenai fenomena alam fisis,
sosial, budaya, ekonomi dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Ada hubungan yang sangat erat antara fakta dengan teori. Ketika
seseorang memanaskan seng, timah, besi yang ia panaskan itu memuai, maka
dicobalah untuk menarik hubungan antara pemanasan dengan pemuaian (logam) itu.
Penjelasan terkait hubungan antara fakta-fakta itu disebut teori (misalnya: jika
logam dipanaskan maka logam itu memuai). Jadi teori adalah suatu pernyataan
yang dapat dibuktikan benar atau salahnya, dan ada hubungan yang erat antara
fakta dengan teori. Ada juga ilmuwan yang menyatakan bahwa “teori terdiri dari
dua pernyataan abstrak atau lebih” yang saling berkaitan (Wuisman, 1996: 204).
Beberapa
peran fakta adalah sebagai berikut:
a. Untuk membenarkan teori (memverivikasi)
atau membuktikan salahnya (memfalsifikasi) teori. Peran semacam ini kerap kita
lihat di bidang ilmu alam ataupun sosial.
b. Untuk mempertajam (memperluas) rumusan
teori yang ada. Ketika ditemukan seseorang meninggal karena flu yang berasal
dari burung (unggas), maka perumusan tentang flu burung semakin luas. Bila
sebelumnya dikatakan bahwa flu burung tidak menular dari manusia ke manusia,
maka jika ditemukan fakta baru yang menunjukkan penularan dari manusia ke
manusia, maka pemahaman tentang flu burung menuntut perluasan wawasan atau
perubahan teori.
c. Untuk menimbukan munculnya teori baru.
Teori yang menyatakan bahwa alam semesta ini terdiri dari tujuh planet
misalnya, terbantah ketika ditemukan planet yang kedelapan. Eksperimen Galileo
di menara Pisa umpamanya menolak teori benda jatuh yang dikemukakan
Aristoteles.
Gambar
Peran Fakta
Pentingnya
fakta dalam dunia ilmu pengetahuan tidak diragukan, apalagi pada pendekatan
empiris-eksperimental, sementara dalam filsafat pembahasan mengenai fakta lebih
merupakan analisis kritis tentang makna yang dikandung fakta itu. Filsafat
tidak menerima fakta secara dangkal. Misalnya pandangan yang menyatakan bahwa
ketidakterkaitan antara fakta dengan teori sebagaimana dikemukakan pendukung
positivism. Dalam filsafat ilmu yang berkembang sekarang ini (post-positivisme)
dinyatakan, bahwa paradigm kerangka teori yang digunakan ilmuwan memengaruhi
pengamatan dan penjelasan kita tentang fakta. Thomas Khun atau Michel Poolanyi
contohnya, menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara sendiri, fakta hanya
berbicara dalam kerangka teori atau pandangan dunia/paradigm tertentu. Newton
di awal masa modern, umpamanya memandang alam sebagai sebuah mesin raksasa yang
dapat dijelaskan berdasarkan hokum-hukum gerakan. Pandangan ini tidak diperoleh
melalui pengamatan, akan tetapi merupakan suatu pra-anggapan, suatu “pandangan
metafisika”.
2.
Konsep
Dalam
berpikir dan menyatakan suatu fakta, kita menggunakan bahasa dan symbol
(konsep). Ilmu pengetahuan diawali dengan menciptakan konsep-konsep untuk
mendeskripsikan fakta atau dunia empiris. Semua bidang ilmu memiliki
konsep-konsep untuk mendeskripsikan dunia empiris yang menjadi focus kajiannya.
Adapun konsep itu merupakan abstraksi yang mewakili objek, sifat-sifat satu
fenomena tertentu. Misalnya konsep “demokrasi”, “femnis” “modernisasi”
“struktur”, “ruang”, “waktu”, dan lain-lain.
Konsep
dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya mengacu pada sifat-sifat dari objek yang
dipelajari. Konsep (1) membantu seseorang untuk menentukan sifat-sifat mana
dari kenyataan/fenomena yang menjadi focus kajian dan penelitiannya. Konsep itu
memiliki fungsi untuk memberikan pemahaman yang sama di antara kelompok
ilmuwan, sehingga membantu anggota (komunitas) ilmuwan untuk berkomunikasi di
antara mereka. Konsep bukan fenomena yang aktual, akan tetapi abstraksi tentang
objek/fenomena. Konsep (2)memberi kita sudut pandang (stand point) yang
mengarahkan dan membantu kita untuk mengamatihal-hal tertentu. Konsep juga (3)
berfungsi sebagai sarana untuk membantu mengorganisir gagasan, data, dan
pengklasifikasian serta menggeneralisasi fenomena yang diamati. Misalkan, Anda
mau menulis/meneliti tentang globalisasi. Anda tentu harus menjelaskan terlebih
dahulu atau membuat definisi tentang globalisasi. Fungsi konsep selanjutnya
adalah konsep (4) sebagai bahan dasar bagi teori. Konsep bentuk teori.
Konsep-konsep yang dihubungkan secara sistematis dan logis dapat membentuk
teori.
Gambar
Fungsi Konsep
3.
Definisi Konseptual dan Operasional
Definisi konsep adalah definisi yang
menggunakan konsep-konsep tertentu untuk mendefinisikan konsep lain. Misalnya “power” didefinisikan secara
konseptual sebagai “kemampuan actor (individu, kelompok atau negara) memengaruhi
pikiran dan tingkah laku orang lain sehingga mau melakukan sesuatu yang
sebenarnya tidak disukainya” (Muktar Mas’Oed, 1990:98). Definisi konseptual
berperan untuk memperlancar komunikasi di kalangan ilmuwan. Karena itu,
definisiyang dirumuskannya secara konsisten atau tidak. Definisi konseptual
biasanya berkaitan dengan konsep yang abstrak atau yang tidak dapat diobservasi
secara langsung, misalnya ideologi, kepentingan, sikap, persepsi, motivasi, dan
lain-lain. Agar konsep yang abstrak dapat ditingkatkan ke wilayah observasional
atau ketingkah laku (fenomena empiris), maka konsep abstrak itu mesti
dirumuskan dalam bentuk definisi operasional (masalah ini dibahas dalam metode
penelitian).
4.
Postulat
Postulat dalam ilmu pasti sama
maksudnya dengan aksioma, yaitu consensus yang dianut/diterima secara arbitrer.
Postulat berfungsi sebagai suatu kebenaran dasar (dalil) yang tidak perlu
dipertanyakan dan dibuktikan lagi. Pada paradigm positivism misalnya,
terkandung aksioma bahwa realitas bersifat homogen, tunggal, dapat diteliti
secara terpilah (atomistik), dan ilmu (akar, jumlah sudut segitiga). Adapun
Immanuel Kant menyatakan keberadaan Tuhan adalah sebagai postulat yang perlu,
agar kehidupan manusia bermoral (lihat Endang Syafuddin Anshari, 1978:64).
5.
Asumsi
Asumsi (atau anggapan dasar) ialah
anggapan yang menjadi tiitik tolok penelitian. Asumsi secara implisit
terkandung dalam paradigm, perspektif, dan kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian. Asumsi umumnya diterima begitu saja sebagai suatu yang benar dengan
sendirinya. Asumsi bisa berasal dari postulat, yaitu kebenaran (dalil-dalil) a
priorii yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Michel Polanyi menyebut
asumsi-asumsi itu sebagai ‘dimensi yang tidak terungkap atau tersembunyi dalam
ilmu pengetahuan’. Misalnya, dalam empirisme terkandung asumsi bahwa alam ini
ada, fenomena alam seragam dan sama di mana saja, alam dapat diketahui melalui
pengamatan dan rasio atau metode empiris-eksperimental, fenomena alam
ditentukan oleh hokum-hukum alam (deterministic) dan seterusnya.
6.
Hipotesis
De Groot, sebagaimana dikutip
Wuisman (1996), mengemukakan tentang ilmu pengetahuan sebagai satu susunan
bertingkat, yang bermula dari keterangan tentang fakta (fenomena) yang
diteliti. Kete rangan tentang fakta
ini berperan sebagai “keterangan dasar” dalam ilmu pengetahuan. Selanjutnya
adalah “tingkat tengah” yang sudah bersifat abstraksi dari sekelompok
fakta/fenomena yang disebut dengan “hipotesis”. Hipotesis juga dapat berarti
pernyataan yang dipakai sebagai jawaban/penjelasan sementara, yang kebenarannya
harus dibuktikan melalui konfirmasi factual. Misalnya, jika air 100o C, maka
air akan mendidih; jika logam dipanaskan maka logam itu memuai. Pernyataan
(hipotesis) ini dapat dibuktikan benar atau salahnya dengan melakukan
pembuktian apakah air yang dipanaskan pada temperature 100oC benar-benar
mendidih dan juga apakan logam yang dipanaskan akan memuai ataukah tidak.
7.
Teori
Istilah teori ini berasal dari
bahasa Yuani, yang artinya “melihat” atau “memerhatikan” dalam konteks ini,
teori suatu pemandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi. Teori adalah
penjelasan tentang apa yang terjadi, atau penjelasan mengapa gejala (proses)
tertentu terjadi. Karena itu, teori dapat dikatakan sebagai jawaban
(pernyataan) terhadap pertanyaan “mengapa”. Misalnya, mengapa penggunaan jarum
suntik yang berulangkali dapan menjadi faktor pengembangbiakan penyakit HIV?
Mengapa bakteri flu babi kurang berkembang pada daerah tropis? (pada ilmu
pengetahuan alam atau ilmu deduktif-nomologis ada kecenderungan untuk membatasi
teori pada penjelasan kausalitas).
Namun, ada yang memberikan definisi
teori lebih longgal lagi dengan mengartikan teori sebagai pernyataan
(proposisi) tentang sesuatu. Pada ilmu pengetahuan sosial-budaya teori umumnya
bukanlah penjelasan kausalitas, karena itu dalam kelompok ilmu idiografis (yang
memiliki keunikan, kekhasan) tidak berpretensi untuk menemukan teori umum
(universal), akan tetapi berupa deskripsi tentang gejala tertentu. Ketika
sejarawan memaparkan tentang revolusi (Prancis, kemerdekaan Indonesia, dan
lain-lain) misalnya, tidak ada ebab-akibat yang sama pada semua revolusi,
masing-masing memiliki kekhasannya tersendiri.
Teori memegang peran penting dalam
dunia ilmiah. Ada beberapa peran/fungsi teori itu antara lain:
a. Untuk mengarahkan observasi
b. Untuk merangkum pengetahuan
c. Untuk memprediksi atau mengontrol fakta
(Nasuton, 1991).
Teori
berfungsi mengarahkan observasi, maksudnya adalah ketika kita melakukan
observasi dalam penelitian ilmiah, maka kerangka teori yang kita pilih/gunakan
untuk mengobservasi objek/fenomena(fakta) yang diteliti itu, secara langsung
baik kita sadari atau tidak, teori yang kita gunakan itu mengarahkan kita untuk
melihat dan menafsirkan objek/fenomena yang diteliti. Misalnya dua orang
peneliti yang melakukan teori psikoanalisa Freud dan yang seorang lagi dengan
menggunakan teori humanistic Maslow. Dengan menggunakan teori yang berbeda,
maka kedua hal itu akan melihat dan menjelaskan “stress” dan “depresi secara
berbeda. Penggunaan kerangka teori (perspektif, paradigma) dalam ilmu
pengetahuan sering dianalogikan dengan seorang yang menggunakan kacamata, ia
akan melihat objek sesuai dengan kacamata yang digunakan. Kacamata yang dipakai
(misalnya: hitam, putih, coklat, merah, kuning) akan memengaruhi warna objek yang
diamati.
Adapun
teori yang berfungsi untuk memprediksi dan mengontrol fakta dapat dijelaskan
serupa berikut. Dalam ilku lingkaran (ekologi), umpamanya diketahui ada
hubungan yang erat antara pemanasan bumi dengan eksploitasi dan perusakan hutan
serta polusi udara. Berdasarkan tingkat kerusakan hutan dan polusi udara dan
air, para ilmuawan dapat meprediksi bahaya yang akan timbul beberapa tahun ke
depan. Misalnya, pencairan gunung es kutub, naiknya permukaan laut,
tenggelamnya beberapa pulau, perubahan iklim di bumu, serta pengaruhnya atas
produksi pertanian. Untuk menghindari kumungkinan itu, para ilmuwan mencoba
mengontrol perusakan hutan dan polusi udara dengan berbagai tindakan misalnya
dengan penanaman hutan, penciptaan teknologi yang dapat menyerap zat korban,
sehingga berbagai ancaman itu dapat dihindari.
Gambar
istilah-istilah yang penting dalam filsafat ilmu pengetahuan
G.
Metode Ilmiah dan Asumsi-asumsi Ilmiah
Metode ilmiah (seperti
empiris-eksperimental) adalah hasil penemuan yang telah diupayakan manusia
dalam waktu yang cukup lama. Dasar-dasarnya sudah ada pada masa Yunani,
dikembangkan oleh sarjana Muslim pada masa kejayaan peradaban Islam dan
kemudian dirumuskan langkah-langkahnya lebih terperinci pada masa modern.
Mengingat betapa pentingnya peran metode penelitian bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Theodore Newcomb menyatakan, tidak ada temuan
penelitian yang lebih bagus dari pada metode yang digunakan untuk memperolehnya
(Cadhwick Cs, 1991:6).
Metode ilmiah didasarkan pada
sejumlah asumsi-asumsi yang biasanya diterima begitu saja. (Michel Polanyi
menyebut asumsi-asumsi itu sebagai asumsi yang bersembunyi atau yang tidak
terungkap). Soberg dan net mengemukakan beberapa asumsi-asumsi yang terdapat
dalam metode ilmiah antara lain:
1. Ada peristiwa atau fenomena yang
terjadi secara berulang kembali atau peristiwa yang mengikuti alur/pola
tertentu.
2. Ada keyakinan bahwa ilmu pengetahuan
adalah lebih utama dari kebodohan.
3. Ada keyakinan bahwa ilmu pengalaman memberikan
dasar yang dapat dipercaya bagi kebenaran ilmu pengetahuan.
4. Ada tatanan kausalitas dalam fenomena
alam dan fenomena sosial dan manusia
5. Ada asumsi berkaitan dengan pengamat
(peneliti), antara lain:
a. Dorongan untuk memperoleh pengetahuan
sebagai alat memperbaiki kehidupan manusia.
b. Pengamat/peneliti mampu menarik hakikat
yang ada pada fenomena yang diteliti.
c. Masyarikat ilmiah mendukung metode
empiris sebagai dasar pencarian pencarian ilmu pengetahuan (Chadwick, 1991:14).
H.
Epistimologi
Karl Raimund Popper adalah professor
fisika dan ahli logika yang awalnya dipengaruhi paradigm positivism, namun
kemudian pemikirannya yang dikenal rasionalisme kritis melakukan beberapa
kritik terhadap pandangan positivism kritis melakukan beberapa kritik terhadap
pandangan positivism ilmiah. Salah satu yang menarik dari pemikirannya adalah
ia tidak membedakan dengan tegas antara epistimologi dengan filsafat ilmu
pengetahuan. Epistimologi Problem Solving yang ia kemukakan adalah identik
dengan teori pengetahuan ilmiah. Alvin I. Goldman dalam makalah “Epistemich and
the sciences af knowledge”, yang ia sampaikan dalam kongres filsafat dunia di
Uni Sovier, juga menggunakan pengertian epistimologi yang tidak begitu
dibedakan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Goldman mengemukakan pengertian
epistimologi sebagai berikut:
Epistemology may be viewed as the
analysis and critical assessment of the mechanisms and prinshiples that
generate beliefs.the logical positivist also viewed epistemology as kind of the
analysis and critical assessment. But they standardly abstracted from
activities of believers, from the physicological mechanism affecting beliefs
and indeed from beliefs themelves considered as psycho-logical states (Goldman
dan Lehrer, 1991:55)
Sebetulnya, kecenderungan untuk
tidak memisahkan secara ketat antara epistimologi dengan filsafat ilmu
(pengetahuan) kita temukan juga galibnya pada filsuf post-positivisme (seperti
Paul Feyerabend and Richard Rorty). Dalam buku ini pengertian epistimologi juga
dibedakan secara tegas dengan filsafat ilmu (pengetahuan), sehingga kita,
misalnya, dapat saja menggunakan istilah epistimologi positivism (Positivisme
Comte atau Positivisme Logis) untuk menunjuk atau merujuk pandangan filsafat
ilmu pengetahuan yang selalu berupaya untuk menentukan apa yang secara objektif
merupakan kepastian. Penggunaan istilah epistimologi yang tidak terlalu
dibedakan secara tegas dengan ilmu filsafat (Pengetahuan) ini terkait dengan
pemikiran filsuf tiga dasawarsa terakhir yang condong tidak membedakan kedua
istilah itu secara tegas. Ini mungkin saja disebabkan oleh semakin tidak
jelasnya batas-batas antara criteria ilmu dan non-ilmu, antara episteme dan
doxa pada era Post-Positivisme, yang digambarkan sebagai “kematian
epistemologi” atau lenyapnya fundasionalisme seperti dikemukakan Paul
Feyerabend (1975) ataupun Richard Rorty (1980).
I. Logika dan Metodologi
Logika,
seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, afdalah cabang filsafat yang
membicarakan bagaimana cara untuk menarik kesimpulan dengan benar/tepat. Ada
aturan-aturan/prinsip-prinsip yang harus diikuti apabila kita melakukan
penarikan kesimpulan. Dengan demikian, logika sesungguhnya adalah metode/cara
berpikir lurus/tepat. Dalam logika dibahas cara penarikan kesimpulan yang
bersifat umum, seperti logika induktif dan logika deduktif.
Sementara
itu, metodologi, seperti juga yang sudah sempat diutarakan pada pembahasan
sebelumnya, membicarakan tentang berbagai cara untuk memperoleh/mengembangkan
berbagai ilmu pengetahuan. Istilah metodologi berasal dari kata “Methodos dan
logos”. Methodos dibentuk dari dua kata yakni meta yang berarti mengatasi,
sesudah; dan hodos berarti jalan, cara, arah. Dengan demikian, metodologi
berarti ilmu yang membicarakan berbagai macam cara, jalan, atau metode untuk
memperoleh/mengembangkan ilmu pengetahuan karena ada berbagai metode yang
dibicarakan dalam metodologi (metode kuantitatif dan kualitatif dengan berbagai
varian lainnya), maka metodologi membicarakan aturan/cara yang ditempuh
mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu. Penggunaan
metode tertentu tidak bersifat fragmentaris, akan tetapi mencoba mengemukakan
bagaimana rangkaian langkah-langkah penelitian dilakukan mulai dari
masalah/problem sampai seorang ilmuwan menemukan pengertian atau teri baru.
Bila
logika membicarakan bagaimana proses penarikan kesimpulan secara umum, maka
metodologi (metode-metode) membahas secara lebih rinci langkah-langkah yang
ditempuh dalam melakukan penelitian pada bidang ilmiah tertentu. Jadi, ada
kaitan yang erat antara logika dan metodologi, karena itu metode-metode dapat
juga dipandang sebagai bagian dari logika. Mengingat betapa pentingnya metode
(penelitian) dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, beberapa ilmuwan mengidentikkan
metode penelitian itu dengan ilmu pengetahuan. Bertrand Russel, seorang ahli
fisika dan matematika dan ilmu filsafat pengetahuan, mengemukakan betapa
pentingnya bagi seorang ilmuwan untuk memahami permasalahan filsafat (Khususnya
filsafat ilmu pengetahuan), dan demikian pula sebaliknya, seorang filsuf perlu
memahami perkembangan ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka mereka akan menjadi
ilmuwan atau filsuf yang menyedihkan. Lebih jauh, Umberto Eco menyatakan,
seorang professor yang dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
(setidaknya sesuai bidangnya), maka lbih baik ia pension saja.
J.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Dalam ilmu pengetahuan, umumnya
klasifikasi tersebut didasrkan atas perbedaan cirri-ciri atau sifat suatu objek
(ontology) yang diteliti. Berdasarkan strata atau urutan objek yang menjadi
focus kajian, maka ilmu (pengetahuan) dapat diklasifikasi atas:
1. Ilmu-ilmu yang mempelajari strata
fisio-kimiawi (organis dan anorganis) seperti: ilmu pasti alam, ilmu kimia,
geologi, astronomi, teknik, dn lain-lain.
2. Ilmu-ilmu yang mempelajari strata
biotic, yang mempelajari organism yang hidup, seperti: ilmu hayat, kehutanan,
peternakan, dan ilmu medis.
3. Ilmu yang mempelajari strata psikis:
ilmu yang mempelajari psike (jiwa:persepsi, naluri, emosi, kognisi, afeksi,
motivasi) dan tingkah laku manusia.
4. Ilmu-ilmu yang mempelajari strata khas
manusia, yaitu kenyataan manusia sebagai mahluk yang unik dan multidimensional.
Disamping
itu, kita juga dapat melihat penggolongan ilmu (pengetahuan) seperti yang terhidang
dalam table berikut:
No Kelompok Ilmu Subjek-Objek Metode Tujuan
1. Ilmu formal (a priori) - Objeknya
dunia III
- Universal Deduktif-aksiomatis Kepastian
Universalitas
2. Ilmu Alam Objek anorganis Empiris
Deduktif
Induktif Eksplanasi kausal-mekanis
Prediksi
Retrodiksi
Nomotetis
3. Ilmu Hayat Objek Organik Empiris
Deduktif
Induktif Eksplanasi
Fungsional
4. Ilmu Sosial Manusia dan Masyarakat Empiris,
Deduktif
Induktif,
Intuitif, Fenomenologis, Hermeneutis Eksplanasi
Kualitatif
Verstehen
5. Ilmu Budaya Manusia dan Karyanya
Empiris, Fenomenologi,Hermeneutika, semiotika, fragming, dll. Deskripsi
Versthen
Kualitatif
Kelompok-kelompok
ilmu (pengetahuan) di atas sering disederhanakan ke dalam dua kelompok ilmu
pengetahuan, yaitu (1) kelompok ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia,
astronomi, biologi, dan lain-lain) dan (2) kelompok ilmu social-budaya.
Kelompok ilmu pengetahuan alam tersseebut disebut juga kelompok ilmu nomotetis,
lantaran tujuan penelitian dalam bidang ilmu ini adalah mencari hokum-hukum
(nomos). Metode yang digunakan biasanya adalah metode empiris-kuantitatif
dengan model penjelasan kausalitas tentang fenomena alam. Karena itu, kelompok
ilmu ini disebut juga ilmu empiris-kuantitatif, atau kelompok ilmu yang
menggunakan model bahasa penjelasan sebab-akibat. Sehingga disebut juga
kelompok ilmu Eklaeren.
Sementara
itu, kelompok ilmu social-budaya menggunakan metode hermeneutika, fenomenologi
atau metode kualitatif dan menggunakan bahasa deskriptif. Oleh karena itu,
kelompok ilmu ini disebut juga kelompok ilmu Versthen (pemahaman, penafsiran).
Kelompok ilmu social-budaya umumnya tidak berpretensi untuk mencari hokum
sosial-budaya yang berlaku umum (universal), akan tetapi lebih pada upaya untuk
memahami keunikan atau kekhasan satu fenomena sosial-budaya (karena itu
kelompok ilmu ini juga disebut “ilmu idiografis”). Misalnya tentang revolusi
kemerdekaan, jika kita perhatikan secara seksama, maka tidak ada revolusi yang sama persis
sebab-akibatnya, masing-masing revolusi (Amerika, Mesir, Indonesia) memiliki
perbedaan dan keunikannya masing-masing. Adapun pada universitas-universitas di
Amerika Serikat misalnya umumnya ilmu pengetahuan dikelompokkan atas tiga
kelompok besar yaitu : (1) ilmu pengetahuan Alam (natural sciences), (2)
ilmu-ilmu pengetahuan sosial (Sosial science), dan ilmu Humaniora (humanities),
(Wilson Gee, 1950).
K.
Pandangan Seputar Ilmu Pengetahuan
Tidak sedikittokoh, pemikir atau
ilmuwan yang telah melahirkan pandangan dan ilmu pengetahuan yang baru
(setidaknya para era mereka hidup). Nama-nama pemikir atau ilmuwan itu (untuk
menyebutkannya saja) misalnya adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo, Newton
dan Rene Descartes.
Francis Bacon, seorang tokoh yang
dipengaruhi Ibnu Rusyd, misalnya menekankan pentingnya metode baru (novum
Oganon), yaitu metode eksperimen untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Bacon
juga telah mengemukakan peran ilmu pengetahuan untuk menciptakan kemajuan dan
kemakmuran bagi umat manusia. Bagi bacon, ilmu pengetahuan adalah
kekuasaan/kekuatan (knowledge/science is power). Bacon berpendapat bahwa Tuhan
telah menciptakan alam secara rasional, sehingga gejala-gejala alam dapat
dijelaskan berdasarkan pengalaman (ingatlah phytagoras yang menyatakan bahwa
bilangan sebagai arhe alam semesta).
Sementara
itu, Corpernicus (1473:1543) terkenal dengan revolusi Copeenicannya menyatakan
bahwa bumi dan planet-planet mengelilingi matahari (heliosentrisme). Revolusi
Carpanican ini mengganti pandangan dunia geosentris menjadi heliosentris.
Corpanicus mengemukakan bahwa fenomena alam tergantung pada suatu system
tunggal dan pada beberapa aksioma geometris. Gagasan ini mendapat tantangan
dari kalangan gereja yang menerima pandangan geosentris dari Ptolemeus. Oleh
pihak kalangan kerajaan pandangan Pteolemeus dianggap lebih tepat dibandingkan
dengan pandangan Heliosentris. Kalangan
gereja sadar jikalau pandangan Corpernicus diterima berarti semua tatanan dan
kehidupan manuia akanrusak (Santoso, 1977:68).
Gallileo
dan Newton memperkuat gagasan Corpernicus. Galileo menggunakan teleskop dalam
observasi gerakan planet. Alam menurutnya, adalah sebuah “buku besar” dan kita
dapat membacanya jika kita menguasai bahasanya. Bahasanya adalah segitiga,
lingkaran (bahasa geometri). Alam seperti bola dan segenap benda-benda angkasa
bergerak secara teratur dalam satu lintasan (circular uniform motion). Gallileo
mengemukakan bahwa Venus dan Mercurius seperti bulan, tidak memancarkan
cahayanya sendiri, melainkan mendapat pantulan cahaya dari matahari. Gallileo
menemukan lintasa peluru, hokum gerak dan menemukan yupiter. Adapun Newton
(1943-1727) menemukan teori gravitasi, perhitungan calculus dan optic. Gallileo
dan Newton telah melakukan prinsip kerja ilmiah melalui pngamatan yang teliti,
penyingkiran hal yang tidak termasuk hal yang diamati, idealisasi, penyusunan
teori yang spekulatif yang didasarkan atas fakta, pengukuran, prediksi serta
pengajuan teori yang didasarkan atas perhitungan matematis (Santoso, 1977:
75-77).
Tokoh
lain, Rene Descartes, setelah mengemukakan metodenya, berkeyakinan bahwa dengan
metodenya itu manusia akan dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan dengan itu umat manusia akan menjadi
penguasa dan pemilik alam (maitres et posseseuors de la nature). Rene Descartes
menempati posisi istimewa dalam dunia filsafat sebagai bapak pemikir modern. Ia
dianggap membawa suatu revolusi pemikiran yang dikenal dengan revolusi
Cartesian. Melalui kesangsian metodis, ia menemukan gagasan “cogito ergo sum”
(saya berpikir, maka saya ada). Ia menempatkan rasio sebagai ukuran dan penentu
kebenaran. Sesuatu benar, jika rasional. Ia mencari dan membentuk satu ilmu
induk melalui satu prosedur (metode ilmiah), yaitu metode rasional-deduktif
yang ia peroleh dari metode keraguannya. Pandangannya tentang alam semesta
sebagai sebuah mesin yang bergerak secara mekanis menggantikan pandangan alam
yang teleogis pada Aristetolian.
Pada
pertengahan abad ke-17, usaha untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
bukan sekadar dilakukan oleh individu, akan tetapi juga oleh kelompok ilmuwan
beserta dengan majalah ilmiahnya. Pada tahun 1662 lahir Royal Society di
Inggris dengan majalah yang berjudul Philosophical Transaction, Academie des Sciences dan di Prancis pada tahun 1663
dengan jurnal des Savancts. Royal Sosiety didirikan atas maklumat Raja Charles
II sebagai pengaruh dari tulisan-tulisan Bacon. Pendirian lembaga-lembaga ini
telah mendorong ilmuwan di Negara lain untuk mendirikan lembaga serupa seperti
usaha Leibniz selama 47 tahun mendirikan mendirikan akademi der wissenchaften
di Berlin. Akademi ilmu pengetahuan ini mempunayi semangat mengembangkan ilmu
penegtahuan dan berupaya mendirikan kebun raya-kebun raya dan kebun
binatang-kebun binatang baik sebagai usaha kerajaan atau lembaga swasta,
sebagai tempat perkumpulan ilmiah, atau sebagai tempat penelitian/eksperimen.
Observatorium-observatorium mulai berkembang, seperti di Greenwich dekat London
yang didirikan ata bantuan raja Charles II dan ini dinilai memberikan manfaat
besar bagi pelaut-pelaut Inggris selama bebrapa abad berikutnya.
Salah
satu hasil paling penting dari perkumpulan dan lembaga ilmu pengetahuan modern
ini adalah penyebarluasan filsafat alam (natural philosophy) ke seluruh Eropa.
Ini melahirkan pula cara berpikir kritis/rasional dan ide-ide mekanistis
tentang alam yang kemudian berkembang ke seluruh penjuru Eropa (namun diikuti
pula dengan lahirnya pandangan deisme, agnotisme, dan ateisme ilmiah. Deisme
adalah kepercayaan bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam urusan alam (“Tuhan
beristirahat dengan tenang”). Sedangkan agnotisme adalah sikap ragu apakah
Tuhan ada atau tidak, karena itu cenderung untuk tidak membicarakannya sama
sekali. Sementara ateisme adalah aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan.
Ateisme ini sebagai konsekuensi pandangan materialisme dan naturalisme.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Pengetahuan
adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan
akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk
mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya. Ciri–ciri pengetahuan yang bersifat ilmiah :
a) Mempunyai derajat kepastian yang
tinggi, dimanah pijakan berpikirnya dilandasi pengetahuan yang luas.
b) Mempunyai alur berpikir yang sistematis
dan sistemik.
c) Memiliki kadar kebenaran yang luas dan
disepakati bersama, sehingga pengetahuan ilmiah mempunyai metode ilmiah yang
sama. (Wahidin, 2009).
Adapun
istilah (konsep) penting yang dibicarakan dalam filsafat ilmu pengetahuan
adalah (1) Fakta, (2) Konsep, (3) Definisi Konseptual dan Definisi Operasional,
(4) Postulat, (5) Asumsi, (6) Hipotesis, dan (7) Teori.
B. Saran
Demikian
yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Kami menyadari sepenuhnya berbagai
kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu, kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini senangtiasa kami terima dengan baik.
Penulis banyak berharap para pembaca yang memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang pada umumnya.